Senin, 03 Februari 2014

SEGALA YANG BERLEBIH AKAN BERAKHIR MENGECEWAKAN......


 Majalah Tarbawi Edisi 216
Segala yang Berlebihan akan Berakhir Mengecewakan
Oleh: Ustadz Sulthan Hadi

Akhir yang mengecewakan itu pasti tidak menyenangkan. Dan karena itu, kita tak mau mengalaminya. Akan tetapi, tabiatnya yang selalu muncul belakangan menyebabkan tak seorang pun di antara kita yang mampu mencegahnya. Pasti setiap kita pernah menjumpainya, atau merasakannya.

Namun begitu, kita tentu mampu untuk sedikit bisa menghindarinya. Sebab sebenarnya faktor yang membuatnya selalu muncul bisa kita kenali. Salah satunya adalah sikap, tindakan, atau perbuatan kita yang berlebihan. Segala yang berlebihan itu biasanya akan berakhir mengecewakan.

Terlalu tegas melahirkan kezaliman, dan terlalu toleran melahirkan ketidakberdayaan

Hidup ini begitu lekat dengan bermacam persoalan, beragam pilihan, dan berbagai tuntutan keadaan. Sebagiannya, barangkali sangat bersentuhan dengan pribadi kita, menjadi tanggung jawab kita, dan membutuhkan penyelesaian dari kita. Keterlibatan diri terkadang menjadi kondisi yang tak bisa dihindari dalam hal-hal tersebut.

Menghadapi satu keadaan, misalnya, kita berada di antara dua sikap; antara tegas dan toleran, atau antara serius dan santai, atau antara keras dan lembut. Setiap kita tentu punya pilihan di antara dua sikap itu, yang biasanya muncul dan dipengaruhi oleh karakter dan kepribadian kita. Sebab karakter dan kepribadian yang berbeda, memang cenderung memberi warna yang berbeda pula pada setiap orang dalam bertindak, berperilaku, dan mengambil keputusan.

Tak ada perbedaan yang terlalu jauh antara dua sikap itu, selama dijalani secara arif, bijak, dan bertanggungjawab. Seorang yang bersikap keras dan seorang yang bersiikap lembut, akan mampu menghadapi dan menyelesaikan masalahnya masing-masing dengan baik, dengan sikap yang dipilihnya. Akan tetapi, ketika sikap itu dijalani secara berlebihan, maka akibatnya bukan saja masalah yang ada tak dapat diselesaikan, bahkan mungkin akan membawa pada penyesalan. Karena sikap tegas yang berlebihan akan melahirkan kezaliman bagi pelakunya, dan perlawanan atau rasa takut yang berlebihan bagi korbannya. Sedang sikap yang terlalu toleran dan lembek, akan menampakkan ketidakberdayaan bagi pelakunya, dan ketidakpercayaan dari orang lain kepadanya.

Setahun lalu, seorang bocah perempuan, Riri (6), nekad melakukan percobaan bunuh diri karena takut dimarahi ibunya, setelah sepedanya rusak karena dipinjam oleh salah seorang temannya.

Ibunda Riri, Aminah, tentu saja merasa terpukul atas peristiwa gantung diri yang dilakukan anaknya. Ia mengaku sangat menyesal. Aminah merasa sangat bersalah dengan kejadian yang menimpa anaknya. Dia merasa lalai karena tidak hati-hati dan kurang mengawasi anaknya. Selain itu, ia juga merasa kecewa dengan pemberitaan media yang dia rasa terlalu menyalahkan dirinya, akibat kejadian yang dialami oleh Riri.

Meski dia selalu membantah bahwa dirinya sering memarahi Riri, namun dari ucapannya terbaca bahwa dia punya sikap yang salah dalam mendidik anak. Dia memang berkata, "Bohong kalau saya suka marah-marah sama Riri." Tapi kemudian dia menyebutkan sendiri sisi kesalahannya, "Saya hanya mendidik anak saya dengan tegas".

Tegas itu baik, tapi Aminah tampaknya memiliki ketegasan yang berlebih, yang membuat anaknya selalu merasa ketakutan jika melakukan sedikit saja kesalahan. Dan itulah yang membuat Riri berani untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Dia mungkin merasa tak punya cara lagi untuk melawan ketegasan sang ibu.

Dalam hidup ini, jika kita ditegasi atau dipaksa untuk melakukan sesuatu, ditegasi atau dipaksa untuk menjadi sukses maka kita mungkin tidak berminat untuk meraih kesuksesan itu. Kita harus mencari kenyamanan terhadap sesuatu, lalu kita tempatkan diri kita di keadaan dimana kita tidak merasa dipaksa untuk menjadi sukses, tetapi justru memaksa sukses itu datang pada kita. Artinya, kita bisa memaksa sukses itu datang pada kita, dan itu menjadikan kita nyaman dalam berusaha untuk meraihnya.

Sedangkan, jika kita dipaksa untuk menjadi sukses, kita akan merasa tidak nyaman untuk mendapatkan kesuksesan itu. Kesuksesan bahkan seakan seperti beban, yang terus menghantui kita dimana pun kita berada. Karena itu, kita tidak akan pernah bisa tenang dalam mencapainya. Padahal untuk mencapai kesuksesan hidup kita harus bisa menempatkan diri kita pada keadaan yang nyaman, yang tidak memaksa.

Begitu pula, jika seorang anak dibiarkan melakukan kemauan hatinya tanpa kendali dan tanpa arahan. Tanpa ketegasan dan tanpa ada sedikit paksaan dan dorongan, maka dia akan melakukan sesuatu sesukanya, tanpa target dan tanpa perencanaan. Tegas dan lembut dua-duanya dapat menghasillkan sesuatu yang baik manakala dijalankan secara seimbang. Tidak berlebihan dan melampaui batas. Tegas dan keras tidak boleh berlebihan, tapi dia juga tak boleh lenyap dan mati dari diri kita.

Terlalu memuliakan melahirkan pengkultusan, dan terlalu merendahkan memperlihatkan kebodohan

Satu sikap yang mesti dimiliki seorang yang beriman adalah memberikan loyalitasnya kepada orang-orang yang tunduk pada kebaikan; berpihak pada kebenaran; dan dekat dengan Allah swt. Memuliakan mereka tentulah terpuji sebab mereka memang pantas dimuliakan. Dan agama ini memang telah menempatkan mereka pada posisi yang terhormat.

Akan tetapi, meyakini bahwa orang-orang itu mampu mendatangkan manfaat dan menolak mudharat, atau mampu menjawab permintaan orang yang meminta kepada mereka, ketika masih hidup ataupun sudah mati, hal itu tentu sudah melampaui ketentuan yang dibenarkan. Perbuatan itu sudah merupakan bentuk syirik yang nyata, dan bertentangan dengan ajaran dan dakwah Rasulullah saw.

Umat manusia, dalam menilai keberadaan orang-orang shalih ada tiga golongan. Pertama, golongan yang meremehkan atau merendahkan kedudukan yang Allah berikan kepada mereka. Kedua, golongan yang memiliki sikap pengkultusan dan pengagungan melebihi batas dari apa yang Allah karuniakan kepada mereka. Dan ketiga, golongan yang adil; tidak meremehkan dan tidak mengkutuskan mereka.

Sesungguhnya Allah mencintai sikap adil di dalam menyikapi orang-orang shalih, yaitu tidak menghinakan dan merendahkan kedudukan mereka, bahkan memuliakan dan memuji mereka dengan tidak melebihi ketentuan syariat, sebagaimana telah dijelaskan Allah dalam ayat-Nya, "Sesunggguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil."

Allah mencintai sikap adil dan pertengahan, serta membenci sikap yang berlebihan. Allah berfirman, "Wahai Ahlul Kitab, janganlah kamu berbuat ghuluw dalam beragama dan jangan pula kalian mengatakan tentang Allah kecuali di atas kebenaran."

Ghuluw, inilah sikap melampaui batas dalam memuji dan mencela. Syaikh Abbdurrahman Alu Syaikh berkata, "Walaupun khitab ayat ini mengarah kepada Ahlul Kitab namun khitab ini bersifat umum, mencakup seluruh umat, sebagai peringatan dari sikap orang-orang Nasrani terhadap Isa bin Maryam, dimana mereka meyakini Isa sebagai anak Allah, atau tiga dari yang satu (trinitas). Tidak juga sikap Yahudi terhadap Uzair. Beliau saw telah berkata, "Janganlah kalian berbuat mengkultuskan (ghuluw) aku sebagaimana orang-orang Nasrani telah berbuat ghuluw kepada putra Maryam. Aku ini hanyalah seorang hamba maka katakanlah Abdullah dan Rasul-Nya."

Maka, yang harus kita lakukan adalah seperti sabda beliau, "Berhati-hatilah kalian dari bersikap ghuluw karena sesungguhya celakanya orang-orang sebelum kalian adalah karena berbuat ghuluw. "Binasalah orang-orang yang melampaui batas." (HR. Muslim)

Abu Bakrah ra, meriwayatkan pula bahwasanya ada seorang laki-laki di sisi beliau yang sering diperbincangkan. Kemudian ada seseorang yang berkata, "Ya Rasulullah, sesungguhnya tidak ada orang yang lebih utama sesudah Rasulullah daripada laki -laki yang diperbincangkan itu."

Maka Rasulullah berkata, "Celakalah kamu! Sungguh kamu telah memenggal leher temanmu sendiri." Beliau mengucapkan kata ini berulang-ulang. Setelah itu Rasulullah saw berkata, "Apabila kamu ingin memuji temanmu tanpa ada unsur mengada-ada maka katakanlah, "Menurutku si fulan itu demikian dan demikian (jika ia memang seperti itu) dan aku tidak akan mengkultuskan seseorang atas Allah."

Sikap berlebihan selain ghuluw adalah ta'ashub (fanatisme). Sikap ini juga sangat dicela dan berpotensi merusak seseorang dan masyarakat. Bahkan Rasulullah mengatakan, "Siapa yang mati dalam fanatisme, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah." 

Efek negatif dari sikap ini di antaranya adalah menutup pintu kebenaran, selalu menyalahkan orang lain, menolak pendapat dan pandangan yang berbeda, membuat seseorang berpikiran jumud, dan cenderung membela sesuatu secara membabi buta walaupun belum jelas kebenarannya.

Fanatisme itu tidak hanya berlaku kepada sosok, tetapi kepada apapun seseorang bisa memiliki sikap itu. Kepada madzhab, kepada golongan, kepada pemimpin, kepada partai, kepada lembaga, dan sebaagainya. Kepercayaan dan loyalitas tinggi kepada hal-hal itu adalah fanatisme yang dilarang. Siapapun dan apapun, kita tidak boleh memiliki kepercayaan dan loyalitas yang penuh kepadanya, karena semua tidak memiliki kebenaran mutlak. Kebenaran mutlak hanya milik Allah dan Rasul-Nya, dan loyalitas penuh kita hanya bisa ditujukan ke sana.

Karena itu, misalnya, para imam madzhab selalu mengatakan, "Pendapatku benar tetapi ada kemungkinan salah, dan pendapat orang lain salah tetapi ada kemungkinan benar." Sehingga mereka sendiri tidak fanatik pada pendapat mereka sendiri, dan juga melarang orang lain untuk fanatik pada pendapat mereka. Imam Asy Syafi'i kemudian menegaskan, "Jika haditsnya shahih itulah madzhabku."

Mengkultuskan dan terlalu fanatik itu tidak boleh. Tapi meremehkan pun juga tidak boleh. Sebab meremehkan akan membuat kita menempatkan seseorang tidak pada posisinya, dan bisa jadi akan mempermalukan diri kita sendiri manakala ternyata kebenaran itu bukan pada pihak kita, melainkan di pihak orang, atau lembaga, atau madzhab yang kita rendahkan.

Terlalu memaksa diri beribadah menurunkan semangat, dan terlalu menikmati kesenangan membutakan hati

Beribadah adalah cara kita menghambakan diri guna memenuhi kewajiban kepada sang Pencipta, Allah swt. Dan, seperti yang telah dijelaskan dalam Al Qur'an, bahwa sesungguhnya itulah tugas utama kita di muka bumi ini sebagai makhluk. Sementara kesibukan kita mencari nafkah, hanyalah aktifitas sampingan agar kita tidak melupakan dan mengabaikan bagian kita di dunia.

Namun demikian, beribadah dan beragama pun ternyata bisa tidak disukai manakala ia dilakukan secara berlebihan, melampaui batas kekuatan, sehingga melanggar hak diri dan orang lain. Sebab memang, agama ini telah diturunkan Allah dengan sangat mudah dan santun. Rasulullah saw bersabda, "Sungguh, agama ini sangatlah mudah. Tidaklah seseorang memaksakan diri dalam beragama kecuali dia akan dikalahkan."

Di antara keburukan yang ditimbulkan sikap berlebihan dalam ibadah adalah kebencian dan future. Jika misalnya, kita memaksa orang lain untuk beribadah dengan mengikuti standar yang berat, maka ada kemungkinan mereka akan membenci kita, atau bahkan membenci agama ini, padahal Allah telah memudahkannya untuk manusia, agar mereka tidak merasa susah dan terbebani.

Inilah yang disebut Yusuf Qardhawi sebagai radikalisme dalam ibadah. Seperti dalam shalat berjamaah, misalnya, jika kita mengimami banyak orang, maka perintah agama adalah meringankan shalat dan memendekkan bacaannya. Karena itu, ketika Rasulullah saw mendapati sahabatnya mengimami orang banyak dengan memanjangkan shalatnya, beliau marah dan menegurnya, "Apakah engkau hendak menimbulkan fitnah, hai Mu'adz?"

Ucapan ini beliau ulang hingga tiga kali, yang menunjukkan bahwa kita dituntut untuk berhati-hati dalam bertindak dan menjaga diri dari sikap berlebihan, meskipun dalam beribadah.

Suatu ketika, Rasulullah saw mendapati seorang sahabiyah yang berpenampilan lusuh dan kumal. Seakan tak pernah berdandan. Beliau pun lalu menyuruhnya merapikan penampilan, namun dijawab oleh perempuan itu, "Untuk siapa aku berdandan?"

"Untuk suamimu," tegas Rasulullah.
"Suamiku jarang di rumah. Siang malam, dia sibuk beribadah di masjid," kilahnya.

Rasulullah kemudian memanggil suaminya dan memintanya untuk memperhatikan hak istri dan keluarganya; tidak mengabaikan hak-hak itu karena terlalu fokus dalam beribadah.

Kisah serupa juga pernah terjadi di zaman Khalifah Umar. Saat itu, seorang perempuan datang kepadanya, menceritakan keadaan suaminya. "Suamiku sangat rajin beribadah. Malam-malamnya dihabiskan untuk shalat dan munajat. Siang hari ia selalu berpuasa," ceritanya kepada Umar. 

"Hebat sekali suamimu. Engkau sangat beruntung bersuamikan lelaki seperti dia,"  jawab Umar memuji. Mendengar jawaban itu, perempuan tersebut lalu pergi tanpa ada sepatah kata pun dari mulutnya.

Sahabat Ali bin Abi Thalib yang mendengar percakapan tadi, lalu mendekati Umar dan berkata, "Hai Umar, tidakkah engkau tahu kalau perempuan itu sedang melaporkan suaminya karena tidak pernah mendapatkan haknya sebagai istri?"

"Benarkah demikian?" tanya Umar. Ia pun kemudian tersadar dari kenyataan itu, lalu pergi menemui suami si wanita, dan menjelaskan kepadanya untuk tidak berlebihan dalam ibadah sehingga mengabaikan kewajibannya sebagai suami.

Begitulah, beribadah yang berlebihan memberi akibat yang buruk. Dan jikapun yang kita paksa adalah diri sendiri, dengan standar yang cukup berat, misalnya, maka tidak mustahil semangat yang berapi-api itu tiba-tiba meredup, dan kita kemudian terpental lantaran futur alias kehabisan energi dan motivasi akibat perasaan jenuh. Atau, seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadits, bagaikan "tidak ada lagi jalan yang bisa dilintasi dan tidak ada lagi kendaraan yang tersisa."

Ini pula ditegaskan Ibnu Hajar, menukil pernyataan Ibnu Bathal rahimahullah, "Hal tersebut dibenci karena dikhawatirkan munculnya sikap jenuh sehingga malah meninggalkan ibadah tersebut secara keseluruhan."

Selain kejenuhan, memaksa diri beribadah juga bisa melemahkan fisik, seperti yang dirasakan sahabat Abdullah bin Amr, yang pernah mengabaikan nasehat Rasulullah  untuk mengurangi frekuensi ibadahnya. Ketika masih muda, Abdullah bin Amr pernah berkata, "Sungguh aku akan selalu berpuasa setiap hari dan melaksanakan  qiyaamullail selama aku masih hidup." Ia mengucapkan ini karena benar-benar mencintai kebaikan. Namun, setelah berita ini sampai kepada Rasulullah saw, beliau bertanya kepada Abdullah, "Apakah engkau benar-benar mengucapkan hal itu?" "Benar, ya Rasulullah," jawab Abdullah. Beliau lalu menasehati, "Sesungguhnya engkau tidak akan mampu melaksanakan hal tersebut." Beliau lantas memintanya untuk berpuasa tiga hari setiap bulan. Tapi Abdullah berkata, "Sesungguhnya aku mampu berpuasa k lebih dari itu." 

"Berpuasalah sehari dan berbukalah pada hari berikutnya," ujar Rasulullah memberi saran. Namun Abdullah masih saja mengatakan, "Sesungguhnya aku mampu untuk berpuasa lebih dari itu. "Terakhir, Rasulullah saw hanya mengatakan, "Tidak ada puasa yang lebih afdhal dari ini. Inilah puasa Nabi Dawud."

Dan ternyata pada masa tuanya, Abdullah bin Amr merasakan betapa beratnya berpuasa sehari dan berbuka pada hari berikutnya. Dalam kesadarannya, ia pun berkata, "Duhai, kiranya aku mau menerima keringanan yang diberikan Nabi Muhammad saw." Dia kemudian mengurangi jumlah puasanya dengan lima belas hari secara berturut-turut, dan juga berbuka selama lima belas hari berturut-turut.

Dalam kisah ada dalil bahwa semestinya seorang hamba beribadah dengan cara yang sederhana. Tidak berlebihan tapi tidak pula memandang remeh. Sebab meremehkan lebih celaka akibatnya. Hidup hanya untuk menikmati kebahagiaan dunia yang sesaat, lalu mengabaikan kewajiban beribadah kepada Sang Pencipta, seperti diungkapkan AI Qur'an, sarna halnya hidup seperti binatang yang tak punya akal dan tak punya orientasi hidup.

Terlalu royal akan melahirkan perbuatan mubadzir, dan terlalu berhemat melahirkan kekikiran

Satu di antara bukti kesempurnaan Islam adalah ajarannya yang mengatur pengeluaran harta dan mendorong umatnya untuk sederhana dalam berinfaq; tidak berlebihan dan tidak terlalu kikir. Sikap dan sifat ini bahkan dikatakan sebagai salah satu kriteria yang dimiliki oleh "ibadurrahman"; hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih. Allah berfirman, "Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian." (AI Furqan: 64)

Bersikap sederhana itu semakin diperlukan ketika pemasukan atau penghasilan kita sangat minim, terutama pada masa-masa paceklik dan kemarau, sebagaimana yang pernah terjadi pada zaman Nabi Yusuf as. Saat itu, Nabi Yusuf meminta rakyatnya untuk menekan dan mengurangi pengeluaran pada tujuh tahun musim subur sehingga bisa disimpan dan dimanfaatkan ketika musim kering. Allah berfirman, "Maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di bulirnya (tangkainya) kecuali sedikit untuk kamu makan." (QS. Yusuf: 47)

Kemudian memperkecil pengeluaran sekali lagi pada tujuh tahun kekeringan dengan keputusan darurat dan pendistribusian simpanan pada tahun-tahun krisis secara merata. "Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan." (QS. Yusuf 48)

Kalimat "Apa yang kamu simpan untuk menghadapinya" di atas membuktikan bahwa apa yang dikeluarkan saat itu sesuai dengan perhitungan dan perencanaan. Ini menunjukkan kesederhanaan.

Umar bin Khatab ra, pada tahun-tahun yang sulit ia benar-benar ingin agar setiap rumah yang masih punya sisa-sisa kemakmuran untuk menyalurkan sebagiannya kepada orang yang kesusahan dan minim pemasukan. Ia berkata, "Sesungguhnya manusia tidak akan punah dengan separuh perut mereka. lnilah yang dimaksud Rasulullah saw dalam sabdanya, "Makanan satu orang mencukupi dua orang, dan makanan dua orang mencukupi empat orang." (HR. Muslim)

Islam tidak melarang umatnya menikmati kemewahan-kemewahan , hidup seperti ajaran Brahma dan Nasrani yang melarang para pendetanya menikmati hidup. Akan tetapi Islam melarang kita untuk "tidak mau menikmati" atau "berlebihan dalam menikmati". Allah swt berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (AI Maidah: 87)

Allah juga berfirman, "Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburka n (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syetan, dan syetan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya." (QS. Al Isra': 26-27)

Tabdzir atau berinfaq untuk hal yang diharamkan, dan israf atau berlebihan dalam hal yang halal keduanya dicela dalam ajaran Islam, sebagaimana dicelanya sifat bukhl dan syuhh alias kikir dan pelit; terlalu perhitungan dan hemat dalam mengeluarkan harta.

Dari sinilah kita wajib menjaga dan memperhatikan prinsip-prinsip dasar dalam berinfaq. Di antaranya, wajib bagi seorang Muslim untuk menyesuaikan antara pemasukan dan pengeluarannya. Tidak memakksakan diri, apalagi sampai berhutang, sebab berhutang itu membawa keresahan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Rasulullah saw sendiri mohon perlindungan kepada Allah dari jeratan hutang, dengan alasan bahwa seseorang itu kalau berhutang, ia akan mudah berbicara lalu berbohong, ia berjanji lalu mengingkari, sebagaimana disebutkan di dalam shahih Bukhari.

Maka infaq seseorang yang melebihi dari kemampuan harta dan pemasukannya adalah termasuk israf (berlebihan) yang tercela. Alllah swt berfirman, "Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungggahnnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS. Al A'raf 31)

Rasulullah saw bersabda. "Makan dan minumlah, berpakaian dan sedekahlah, selama tidak disertai dengan berlebihan dan kesombongan." (HR. An Nasa'i dan Ibnu Majah)[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar