Majalah Tarbawi Edisi 216
Segala yang Berlebihan akan Berakhir Mengecewakan
Oleh: Ustadz Sulthan Hadi
Akhir
yang mengecewakan itu pasti tidak menyenangkan. Dan karena itu, kita
tak mau mengalaminya. Akan tetapi, tabiatnya yang selalu muncul
belakangan menyebabkan tak seorang pun di antara kita yang mampu
mencegahnya. Pasti setiap kita pernah menjumpainya, atau merasakannya.
Namun
begitu, kita tentu mampu untuk sedikit bisa menghindarinya. Sebab
sebenarnya faktor yang membuatnya selalu muncul bisa kita kenali. Salah
satunya adalah sikap, tindakan, atau perbuatan kita yang berlebihan.
Segala yang berlebihan itu biasanya akan berakhir mengecewakan.
Terlalu tegas melahirkan kezaliman, dan terlalu toleran melahirkan ketidakberdayaan
Hidup
ini begitu lekat dengan bermacam persoalan, beragam pilihan, dan
berbagai tuntutan keadaan. Sebagiannya, barangkali sangat bersentuhan
dengan pribadi kita, menjadi tanggung jawab kita, dan membutuhkan
penyelesaian dari kita. Keterlibatan diri terkadang menjadi kondisi yang
tak bisa dihindari dalam hal-hal tersebut.
Menghadapi
satu keadaan, misalnya, kita berada di antara dua sikap; antara tegas
dan toleran, atau antara serius dan santai, atau antara keras dan
lembut. Setiap kita tentu punya pilihan di antara dua sikap itu, yang
biasanya muncul dan dipengaruhi oleh karakter dan kepribadian kita.
Sebab karakter dan kepribadian yang berbeda, memang cenderung memberi
warna yang berbeda pula pada setiap orang dalam bertindak, berperilaku,
dan mengambil keputusan.
Tak
ada perbedaan yang terlalu jauh antara dua sikap itu, selama dijalani
secara arif, bijak, dan bertanggungjawab. Seorang yang bersikap keras
dan seorang yang bersiikap lembut, akan mampu menghadapi dan
menyelesaikan masalahnya masing-masing dengan baik, dengan sikap yang
dipilihnya. Akan tetapi, ketika sikap itu dijalani secara berlebihan,
maka akibatnya bukan saja masalah yang ada tak dapat diselesaikan,
bahkan mungkin akan membawa pada penyesalan. Karena sikap tegas yang
berlebihan akan melahirkan kezaliman bagi pelakunya, dan perlawanan atau
rasa takut yang berlebihan bagi korbannya. Sedang sikap yang terlalu
toleran dan lembek, akan menampakkan ketidakberdayaan bagi pelakunya,
dan ketidakpercayaan dari orang lain kepadanya.
Setahun
lalu, seorang bocah perempuan, Riri (6), nekad melakukan percobaan
bunuh diri karena takut dimarahi ibunya, setelah sepedanya rusak karena
dipinjam oleh salah seorang temannya.
Ibunda
Riri, Aminah, tentu saja merasa terpukul atas peristiwa gantung diri
yang dilakukan anaknya. Ia mengaku sangat menyesal. Aminah merasa sangat
bersalah dengan kejadian yang menimpa anaknya. Dia merasa lalai karena
tidak hati-hati dan kurang mengawasi anaknya. Selain itu, ia juga merasa
kecewa dengan pemberitaan media yang dia rasa terlalu menyalahkan
dirinya, akibat kejadian yang dialami oleh Riri.
Meski
dia selalu membantah bahwa dirinya sering memarahi Riri, namun dari
ucapannya terbaca bahwa dia punya sikap yang salah dalam mendidik anak.
Dia memang berkata, "Bohong kalau saya suka marah-marah sama Riri." Tapi
kemudian dia menyebutkan sendiri sisi kesalahannya, "Saya hanya
mendidik anak saya dengan tegas".
Tegas
itu baik, tapi Aminah tampaknya memiliki ketegasan yang berlebih, yang
membuat anaknya selalu merasa ketakutan jika melakukan sedikit saja
kesalahan. Dan itulah yang membuat Riri berani untuk mengakhiri hidupnya
sendiri. Dia mungkin merasa tak punya cara lagi untuk melawan ketegasan
sang ibu.
Dalam
hidup ini, jika kita ditegasi atau dipaksa untuk melakukan sesuatu,
ditegasi atau dipaksa untuk menjadi sukses maka kita mungkin tidak
berminat untuk meraih kesuksesan itu. Kita harus mencari kenyamanan
terhadap sesuatu, lalu kita tempatkan diri kita di keadaan dimana kita
tidak merasa dipaksa untuk menjadi sukses, tetapi justru memaksa sukses
itu datang pada kita. Artinya, kita bisa memaksa sukses itu datang pada
kita, dan itu menjadikan kita nyaman dalam berusaha untuk meraihnya.
Sedangkan,
jika kita dipaksa untuk menjadi sukses, kita akan merasa tidak nyaman
untuk mendapatkan kesuksesan itu. Kesuksesan bahkan seakan seperti
beban, yang terus menghantui kita dimana pun kita berada. Karena itu,
kita tidak akan pernah bisa tenang dalam mencapainya. Padahal untuk
mencapai kesuksesan hidup kita harus bisa menempatkan diri kita pada
keadaan yang nyaman, yang tidak memaksa.
Begitu
pula, jika seorang anak dibiarkan melakukan kemauan hatinya tanpa
kendali dan tanpa arahan. Tanpa ketegasan dan tanpa ada sedikit paksaan
dan dorongan, maka dia akan melakukan sesuatu sesukanya, tanpa target
dan tanpa perencanaan. Tegas dan lembut dua-duanya dapat menghasillkan
sesuatu yang baik manakala dijalankan secara seimbang. Tidak berlebihan
dan melampaui batas. Tegas dan keras tidak boleh berlebihan, tapi dia
juga tak boleh lenyap dan mati dari diri kita.
Terlalu memuliakan melahirkan pengkultusan, dan terlalu merendahkan memperlihatkan kebodohan
Satu
sikap yang mesti dimiliki seorang yang beriman adalah memberikan
loyalitasnya kepada orang-orang yang tunduk pada kebaikan; berpihak pada
kebenaran; dan dekat dengan Allah swt. Memuliakan mereka tentulah
terpuji sebab mereka memang pantas dimuliakan. Dan agama ini memang
telah menempatkan mereka pada posisi yang terhormat.
Akan
tetapi, meyakini bahwa orang-orang itu mampu mendatangkan manfaat dan
menolak mudharat, atau mampu menjawab permintaan orang yang meminta
kepada mereka, ketika masih hidup ataupun sudah mati, hal itu tentu
sudah melampaui ketentuan yang dibenarkan. Perbuatan itu sudah merupakan
bentuk syirik yang nyata, dan bertentangan dengan ajaran dan dakwah
Rasulullah saw.
Umat
manusia, dalam menilai keberadaan orang-orang shalih ada tiga golongan.
Pertama, golongan yang meremehkan atau merendahkan kedudukan yang Allah
berikan kepada mereka. Kedua, golongan yang memiliki sikap pengkultusan
dan pengagungan melebihi batas dari apa yang Allah karuniakan kepada
mereka. Dan ketiga, golongan yang adil; tidak meremehkan dan tidak
mengkutuskan mereka.
Sesungguhnya
Allah mencintai sikap adil di dalam menyikapi orang-orang shalih, yaitu
tidak menghinakan dan merendahkan kedudukan mereka, bahkan memuliakan
dan memuji mereka dengan tidak melebihi ketentuan syariat, sebagaimana
telah dijelaskan Allah dalam ayat-Nya, "Sesunggguhnya Allah mencintai
orang-orang yang berbuat adil."
Allah
mencintai sikap adil dan pertengahan, serta membenci sikap yang
berlebihan. Allah berfirman, "Wahai Ahlul Kitab, janganlah kamu berbuat
ghuluw dalam beragama dan jangan pula kalian mengatakan tentang Allah
kecuali di atas kebenaran."
Ghuluw,
inilah sikap melampaui batas dalam memuji dan mencela. Syaikh
Abbdurrahman Alu Syaikh berkata, "Walaupun khitab ayat ini mengarah
kepada Ahlul Kitab namun khitab ini bersifat umum, mencakup seluruh
umat, sebagai peringatan dari sikap orang-orang Nasrani terhadap Isa bin
Maryam, dimana mereka meyakini Isa sebagai anak Allah, atau tiga dari
yang satu (trinitas). Tidak juga sikap Yahudi terhadap Uzair. Beliau saw
telah berkata, "Janganlah kalian berbuat mengkultuskan (ghuluw) aku
sebagaimana orang-orang Nasrani telah berbuat ghuluw kepada putra
Maryam. Aku ini hanyalah seorang hamba maka katakanlah Abdullah dan
Rasul-Nya."
Maka,
yang harus kita lakukan adalah seperti sabda beliau, "Berhati-hatilah
kalian dari bersikap ghuluw karena sesungguhya celakanya orang-orang
sebelum kalian adalah karena berbuat ghuluw. "Binasalah orang-orang yang
melampaui batas." (HR. Muslim)
Abu
Bakrah ra, meriwayatkan pula bahwasanya ada seorang laki-laki di sisi
beliau yang sering diperbincangkan. Kemudian ada seseorang yang berkata,
"Ya Rasulullah, sesungguhnya tidak ada orang yang lebih utama sesudah
Rasulullah daripada laki -laki yang diperbincangkan itu."
Maka
Rasulullah berkata, "Celakalah kamu! Sungguh kamu telah memenggal leher
temanmu sendiri." Beliau mengucapkan kata ini berulang-ulang. Setelah
itu Rasulullah saw berkata, "Apabila kamu ingin memuji temanmu tanpa ada
unsur mengada-ada maka katakanlah, "Menurutku si fulan itu demikian dan
demikian (jika ia memang seperti itu) dan aku tidak akan mengkultuskan
seseorang atas Allah."
Sikap
berlebihan selain ghuluw adalah ta'ashub (fanatisme). Sikap ini juga
sangat dicela dan berpotensi merusak seseorang dan masyarakat. Bahkan
Rasulullah mengatakan, "Siapa yang mati dalam fanatisme, maka ia mati
dalam keadaan jahiliyah."
Efek
negatif dari sikap ini di antaranya adalah menutup pintu kebenaran,
selalu menyalahkan orang lain, menolak pendapat dan pandangan yang
berbeda, membuat seseorang berpikiran jumud, dan cenderung membela
sesuatu secara membabi buta walaupun belum jelas kebenarannya.
Fanatisme
itu tidak hanya berlaku kepada sosok, tetapi kepada apapun seseorang
bisa memiliki sikap itu. Kepada madzhab, kepada golongan, kepada
pemimpin, kepada partai, kepada lembaga, dan sebaagainya. Kepercayaan
dan loyalitas tinggi kepada hal-hal itu adalah fanatisme yang dilarang.
Siapapun dan apapun, kita tidak boleh memiliki kepercayaan dan loyalitas
yang penuh kepadanya, karena semua tidak memiliki kebenaran mutlak.
Kebenaran mutlak hanya milik Allah dan Rasul-Nya, dan loyalitas penuh
kita hanya bisa ditujukan ke sana.
Karena itu, misalnya, para imam madzhab selalu mengatakan, "Pendapatku benar tetapi ada kemungkinan salah, dan pendapat orang lain salah tetapi ada kemungkinan benar."
Sehingga mereka sendiri tidak fanatik pada pendapat mereka sendiri, dan
juga melarang orang lain untuk fanatik pada pendapat mereka. Imam Asy
Syafi'i kemudian menegaskan, "Jika haditsnya shahih itulah madzhabku."
Mengkultuskan
dan terlalu fanatik itu tidak boleh. Tapi meremehkan pun juga tidak
boleh. Sebab meremehkan akan membuat kita menempatkan seseorang tidak
pada posisinya, dan bisa jadi akan mempermalukan diri kita sendiri
manakala ternyata kebenaran itu bukan pada pihak kita, melainkan di
pihak orang, atau lembaga, atau madzhab yang kita rendahkan.
Terlalu memaksa diri beribadah menurunkan semangat, dan terlalu menikmati kesenangan membutakan hati
Beribadah
adalah cara kita menghambakan diri guna memenuhi kewajiban kepada sang
Pencipta, Allah swt. Dan, seperti yang telah dijelaskan dalam Al Qur'an,
bahwa sesungguhnya itulah tugas utama kita di muka bumi ini sebagai
makhluk. Sementara kesibukan kita mencari nafkah, hanyalah aktifitas
sampingan agar kita tidak melupakan dan mengabaikan bagian kita di
dunia.
Namun
demikian, beribadah dan beragama pun ternyata bisa tidak disukai
manakala ia dilakukan secara berlebihan, melampaui batas kekuatan,
sehingga melanggar hak diri dan orang lain. Sebab memang, agama ini
telah diturunkan Allah dengan sangat mudah dan santun. Rasulullah saw
bersabda, "Sungguh, agama ini sangatlah mudah. Tidaklah seseorang
memaksakan diri dalam beragama kecuali dia akan dikalahkan."
Di
antara keburukan yang ditimbulkan sikap berlebihan dalam ibadah adalah
kebencian dan future. Jika misalnya, kita memaksa orang lain untuk
beribadah dengan mengikuti standar yang berat, maka ada kemungkinan
mereka akan membenci kita, atau bahkan membenci agama ini, padahal Allah
telah memudahkannya untuk manusia, agar mereka tidak merasa susah dan
terbebani.
Inilah
yang disebut Yusuf Qardhawi sebagai radikalisme dalam ibadah. Seperti
dalam shalat berjamaah, misalnya, jika kita mengimami banyak orang, maka
perintah agama adalah meringankan shalat dan memendekkan bacaannya.
Karena itu, ketika Rasulullah saw mendapati sahabatnya mengimami orang
banyak dengan memanjangkan shalatnya, beliau marah dan menegurnya,
"Apakah engkau hendak menimbulkan fitnah, hai Mu'adz?"
Ucapan
ini beliau ulang hingga tiga kali, yang menunjukkan bahwa kita dituntut
untuk berhati-hati dalam bertindak dan menjaga diri dari sikap
berlebihan, meskipun dalam beribadah.
Suatu
ketika, Rasulullah saw mendapati seorang sahabiyah yang berpenampilan
lusuh dan kumal. Seakan tak pernah berdandan. Beliau pun lalu
menyuruhnya merapikan penampilan, namun dijawab oleh perempuan itu,
"Untuk siapa aku berdandan?"
"Untuk suamimu," tegas Rasulullah.
"Suamiku jarang di rumah. Siang malam, dia sibuk beribadah di masjid," kilahnya.
Rasulullah
kemudian memanggil suaminya dan memintanya untuk memperhatikan hak
istri dan keluarganya; tidak mengabaikan hak-hak itu karena terlalu
fokus dalam beribadah.
Kisah
serupa juga pernah terjadi di zaman Khalifah Umar. Saat itu, seorang
perempuan datang kepadanya, menceritakan keadaan suaminya. "Suamiku
sangat rajin beribadah. Malam-malamnya dihabiskan untuk shalat dan
munajat. Siang hari ia selalu berpuasa," ceritanya kepada Umar.
"Hebat
sekali suamimu. Engkau sangat beruntung bersuamikan lelaki seperti
dia," jawab Umar memuji. Mendengar jawaban itu, perempuan tersebut lalu
pergi tanpa ada sepatah kata pun dari mulutnya.
Sahabat
Ali bin Abi Thalib yang mendengar percakapan tadi, lalu mendekati Umar
dan berkata, "Hai Umar, tidakkah engkau tahu kalau perempuan itu sedang
melaporkan suaminya karena tidak pernah mendapatkan haknya sebagai
istri?"
"Benarkah
demikian?" tanya Umar. Ia pun kemudian tersadar dari kenyataan itu,
lalu pergi menemui suami si wanita, dan menjelaskan kepadanya untuk
tidak berlebihan dalam ibadah sehingga mengabaikan kewajibannya sebagai
suami.
Begitulah,
beribadah yang berlebihan memberi akibat yang buruk. Dan jikapun yang
kita paksa adalah diri sendiri, dengan standar yang cukup berat,
misalnya, maka tidak mustahil semangat yang berapi-api itu tiba-tiba
meredup, dan kita kemudian terpental lantaran futur alias kehabisan
energi dan motivasi akibat perasaan jenuh. Atau, seperti yang dijelaskan
dalam sebuah hadits, bagaikan "tidak ada lagi jalan yang bisa dilintasi
dan tidak ada lagi kendaraan yang tersisa."
Ini
pula ditegaskan Ibnu Hajar, menukil pernyataan Ibnu Bathal
rahimahullah, "Hal tersebut dibenci karena dikhawatirkan munculnya sikap
jenuh sehingga malah meninggalkan ibadah tersebut secara keseluruhan."
Selain
kejenuhan, memaksa diri beribadah juga bisa melemahkan fisik, seperti
yang dirasakan sahabat Abdullah bin Amr, yang pernah mengabaikan nasehat
Rasulullah untuk mengurangi frekuensi ibadahnya. Ketika masih muda,
Abdullah bin Amr pernah berkata, "Sungguh aku akan selalu berpuasa
setiap hari dan melaksanakan qiyaamullail selama aku masih hidup." Ia
mengucapkan ini karena benar-benar mencintai kebaikan. Namun, setelah
berita ini sampai kepada Rasulullah saw, beliau bertanya kepada
Abdullah, "Apakah engkau benar-benar mengucapkan hal itu?" "Benar, ya
Rasulullah," jawab Abdullah. Beliau lalu menasehati, "Sesungguhnya
engkau tidak akan mampu melaksanakan hal tersebut." Beliau lantas
memintanya untuk berpuasa tiga hari setiap bulan. Tapi Abdullah berkata,
"Sesungguhnya aku mampu berpuasa k lebih dari itu."
"Berpuasalah
sehari dan berbukalah pada hari berikutnya," ujar Rasulullah memberi
saran. Namun Abdullah masih saja mengatakan, "Sesungguhnya aku mampu
untuk berpuasa lebih dari itu. "Terakhir, Rasulullah saw hanya
mengatakan, "Tidak ada puasa yang lebih afdhal dari ini. Inilah puasa
Nabi Dawud."
Dan
ternyata pada masa tuanya, Abdullah bin Amr merasakan betapa beratnya
berpuasa sehari dan berbuka pada hari berikutnya. Dalam kesadarannya, ia
pun berkata, "Duhai, kiranya aku mau menerima keringanan yang diberikan
Nabi Muhammad saw." Dia kemudian mengurangi jumlah puasanya dengan lima
belas hari secara berturut-turut, dan juga berbuka selama lima belas
hari berturut-turut.
Dalam
kisah ada dalil bahwa semestinya seorang hamba beribadah dengan cara
yang sederhana. Tidak berlebihan tapi tidak pula memandang remeh. Sebab
meremehkan lebih celaka akibatnya. Hidup hanya untuk menikmati
kebahagiaan dunia yang sesaat, lalu mengabaikan kewajiban beribadah
kepada Sang Pencipta, seperti diungkapkan AI Qur'an, sarna halnya hidup
seperti binatang yang tak punya akal dan tak punya orientasi hidup.
Terlalu royal akan melahirkan perbuatan mubadzir, dan terlalu berhemat melahirkan kekikiran
Satu
di antara bukti kesempurnaan Islam adalah ajarannya yang mengatur
pengeluaran harta dan mendorong umatnya untuk sederhana dalam berinfaq;
tidak berlebihan dan tidak terlalu kikir. Sikap dan sifat ini bahkan
dikatakan sebagai salah satu kriteria yang dimiliki oleh "ibadurrahman";
hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih. Allah berfirman, "Dan orang-orang
yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebih-lebihan, dan
tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah
antara yang demikian." (AI Furqan: 64)
Bersikap
sederhana itu semakin diperlukan ketika pemasukan atau penghasilan kita
sangat minim, terutama pada masa-masa paceklik dan kemarau, sebagaimana
yang pernah terjadi pada zaman Nabi Yusuf as. Saat itu, Nabi Yusuf
meminta rakyatnya untuk menekan dan mengurangi pengeluaran pada tujuh
tahun musim subur sehingga bisa disimpan dan dimanfaatkan ketika musim
kering. Allah berfirman, "Maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan
di bulirnya (tangkainya) kecuali sedikit untuk kamu makan." (QS. Yusuf:
47)
Kemudian
memperkecil pengeluaran sekali lagi pada tujuh tahun kekeringan dengan
keputusan darurat dan pendistribusian simpanan pada tahun-tahun krisis
secara merata. "Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat
sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun
sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan." (QS.
Yusuf 48)
Kalimat
"Apa yang kamu simpan untuk menghadapinya" di atas membuktikan bahwa
apa yang dikeluarkan saat itu sesuai dengan perhitungan dan perencanaan.
Ini menunjukkan kesederhanaan.
Umar
bin Khatab ra, pada tahun-tahun yang sulit ia benar-benar ingin agar
setiap rumah yang masih punya sisa-sisa kemakmuran untuk menyalurkan
sebagiannya kepada orang yang kesusahan dan minim pemasukan. Ia berkata,
"Sesungguhnya manusia tidak akan punah dengan separuh perut mereka.
lnilah yang dimaksud Rasulullah saw dalam sabdanya, "Makanan satu orang
mencukupi dua orang, dan makanan dua orang mencukupi empat orang." (HR.
Muslim)
Islam
tidak melarang umatnya menikmati kemewahan-kemewahan , hidup seperti
ajaran Brahma dan Nasrani yang melarang para pendetanya menikmati hidup.
Akan tetapi Islam melarang kita untuk "tidak mau menikmati" atau
"berlebihan dalam menikmati". Allah swt berfirman, "Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah
halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (AI Maidah: 87)
Allah
juga berfirman, "Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat
akan haknya, kepada orang miskin dan orang dalam perjalanan; dan
janganlah kamu menghambur-hamburka n (hartamu) secara boros.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syetan, dan
syetan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya." (QS. Al Isra': 26-27)
Tabdzir
atau berinfaq untuk hal yang diharamkan, dan israf atau berlebihan
dalam hal yang halal keduanya dicela dalam ajaran Islam, sebagaimana
dicelanya sifat bukhl dan syuhh alias kikir dan pelit; terlalu
perhitungan dan hemat dalam mengeluarkan harta.
Dari
sinilah kita wajib menjaga dan memperhatikan prinsip-prinsip dasar
dalam berinfaq. Di antaranya, wajib bagi seorang Muslim untuk
menyesuaikan antara pemasukan dan pengeluarannya. Tidak memakksakan
diri, apalagi sampai berhutang, sebab berhutang itu membawa keresahan di
malam hari dan kehinaan di siang hari. Rasulullah saw sendiri mohon
perlindungan kepada Allah dari jeratan hutang, dengan alasan bahwa
seseorang itu kalau berhutang, ia akan mudah berbicara lalu berbohong,
ia berjanji lalu mengingkari, sebagaimana disebutkan di dalam shahih
Bukhari.
Maka
infaq seseorang yang melebihi dari kemampuan harta dan pemasukannya
adalah termasuk israf (berlebihan) yang tercela. Alllah swt berfirman,
"Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungggahnnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS. Al A'raf
31)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar