Tarbawi edisi 220
Menertawakan Janji-janji
Kita pada Diri Sendiri
Oleh: Ustadz Sulthan Hadi
Menertawakan diri sendiri mungkin
tidak semua kita bisa atau mau melakukannya. Padahal, tertawa adalah salah satu
pertanda bahwa seseorang masih bisa membedakan antara kepedihan dengan
kesenangan. Tertawa adalah pertanda bahwa seseorang masih mampu membedakan mana
dagelan dan mana keseriusan. Tertawa menjadi bukti bahwa seseorang
sedang berduka atau bersuka. Tertawa merupakan isyarat bahwa seseorang masih
punya rasa. Tanpa rasa, maka besar kemungkinan orang tersebut sedang mengalami
gangguan jiwa. Sebab, hanya orang yang mengalami gangguan jiwa yang selalu
tertawa dalam kondisi apa pun. Sebaliknya, orang yang waras hanya akan
menertawakan sesuatu yang memang pantas ditertawakan. Meski terkadang, kita
bisa pula menertawakan sesuatu yang sebenarnya tak
lucu.
Menertawakan diri sendiri kita
lakukan untuk menyadari kesalahan, perilaku konyol, kekeliruan, seperti halnya
yang pernah dilakukan Umar bin Khattab kala mengenang masa-masa jahiliyahnya
yang sering melakukan perilaku yang tak rasional.
Lantas, apakah dengan
menertawakan diri mampu membuat kita menjadi baik?! Tentu tidak. Sebab
kesalahan tetaplah kesalahan sebelum ia diperbaiki atau dihapus. Kekeliruan
tetaplah kekeliruan sebelum ia dikoreksi. Dan dosa tetaplah dosa sebelum ia
ditaubati. Tapi menertawakan diri itu tetaplah perlu, agar hidup kita tidak
terasa kaku, agar ketegangan yang melanda hidup karena persoalan yang rumit
bisa sedikit terobati.
Khusus di sini, mari kita sejenak
menertawakan diri sendiri, karena janji-janji yang pernah kita ikrarkan
kepadanya. Sebab mungkin di sana ada kelucuan, keluguan, kebodohan, atau
mungkin inkosistensi yang telah menipu kita, memenjarakan kita pada keadaan
yang tak memberi perubahan.
Janji pada Diri Sendiri, Janji
yang Tanpa Pengawas dan Sanksi Hukum
Janji adalah hutang. ltulah
ungkapan yang sering kita ucapkan ketika kita ingin mengingatkan seseorang agar
konsekuen dan konsisten dengan janji yang pernah diucapkannya. Dan memang, pada
dasarnya janji punya konsekuensi yang mempertaruhkan citra diri kita kepada
siapa saja janji itu kita ucapkan.
Kepada Allah swt kita pernah
mengucap janji untuk mempertuhankan-Nya dalam setiap keadaan kita di kehidupan
ini; beribadah kepada-Nya, bersandar hanya kepada-Nya, menuruti perintah-Nya
dan menjauhi segala larangan-Nya. Saat itu Allah berfirman, "Bukankah aku
ini Tuhanmu?" Dan kita pun menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi." (QS. Al A'raf 172)
Memang, tak ada di antara kita
yang mengingat kapan dan bagaimana janji itu kita ucapkan, sebab kala itu kita
memang baru berusia empat bulan dalam rahim ibu. Akan tetapi, janji itu telah
cukup bagi Allah untuk menghukum setiap kesalahan dan dosa yang kita lakukan di
dunia, sekecil apapun. Kalaupun akhirnya kita bertaubat dan berjanji untuk
tidak mengulangi kesalahan itu lagi, hakekatnya itu hanyalah pengulangan dari
janji yang dahulu perrnah kita ucapkan. Karena itu, Rasulullah saw mengingatkan
kita dengan sabdanya, "Perbaharui imanmu dengan mengucapkan, "Tiada
tuhan selain Allah".
Jika kita melanggar janji ini,
maka konsekuensi paling besar yang akan kita terima adalah jastifikasi
kekafiran dari Allah swt. Sebab tak ada gelar lain yang pantas bagi seorang
manusia yang tak mengakui Allah sebagai Tuhan kecuali kafir.
Kepada manusia, kita seringkali
berjanji. Bahkan mungkin setiap hari. Kepada teman, relasi dan mitra kerja
kita, selalu ada janji. Kepada orang tua, istri atau suami, anak, dan saudara,
kita sering mengucapkan janji. Dan semua janji-janji itu ada konsekuensinya,
dan pertaruhannya pun adalah citra diri. Rasulullah saw pernah bersaba,
"Empat hal, jika terdapat pada diri seseorang maka ia seorang munafik yang
murni. Siapa yang memiliki satu di antara empat hal itu maka ia menyimpan satu
tabiat kemunafikan hingga ia melepaskannya: Jika diberi amanah dia berkhianat;
jika berbicara dia berbohong; jika berjanji dia ingkar; jika berselisih dia
berlaku jahat." (Muttafaq ‘Alaih)
Tetapi yang unik adalah janji
kita kepada diri sendiri. Rencana, target, obsesi, dan janji kita kepada diri
sendiri nyaris tak ada hukum dan sanksi yang akan kita terima, sebab memang
tidak ada yang mengawasi, tak ada yang menghukum. Kita bebas berjanji apa dan
kapan saja, dan bebas pula melanggarnya. Kita merdeka untuk menyusun rencana
apapun, dan merdeka pula untuk tidak melakukannya. Kita mungkin pernah berjanji
pada diri sendiri untuk bekerja keras, misalnya, agar dua atau tiga tahun
kedepan kita bisa punya mobil, atau merampungkan kuliah, atau memajukan bisnis
dan sebagainya. Tapi janji itu kemudian tak kita penuhi, dan kita tak pernah merasa
berdosa karena memang tak ada yang mengawasi dan tak ada yang memarahi.
Janji kepada diri sendiri adalah
janji yang berbeda. Unik. Tak ada risiko dan konsekuensi. Karena itulah
barangkali maka kita terlalu mudah melakukannya dan terlalu mudah pula melupakannya.
Selalu, dan terus berulang. Layak rasanya kita menertawakan diri karena
kelakuan itu, yang terkesan seperti anak kecil yang tak pernah mengerti dan tak
mau tahu akibat dari ucapannya. Kita seringkali mengucap janji pada diri
sendiri untuk sebuah komitmen, tapi tak ada satu pun dari janji-janji itu yang
mampu membawa kita ke mana-mana, karena memang kita juga tak pernah
menggerakkannya ke mana-mana. Hanya ada di pikiran, hanya tertulis indah di
catatan, karena kita merasa tak ada yang mengawasi, tak ada yang akan
menghukum.
Kita Ingin Sukses, tapi tak
Sejengkal pun Kita Melangkah
Target-target besar yang kita
rencanakan kemarin untuk hari ini, atau hari ini untuk esok, itu semua adalah janji-janji
kita pada diri sendiri. Dan ia adalah permulaan yang baik untuk tujuan yang
baik. Dia adalah kunci awal dari sebuah kesuksesan yang besar. Tapi target,
sebaik apapun perencanaannya dan sehebat apapun strategi pencapaiannya, kalau
kaki tak penah sekali pun dilangkahkan dan tangan tak pernah diayun, dia hanya
akan jadi mimpi yang tak pernah jadi nyata.
Cobalah kita sejenak merenung,
menggingat setiap pergantian waktu yang pemah kita lewati, dari hari ke hari,
atau dari tahun ke tahun hingga di usia kita saat ini, sebenarnya selalu ada
rencana besar yang kita sisipkan di sana untuk sebuah masa depan yang lebih
baik, karena kita memang pasti ingin hidup lebih baik. Namun kenyataannya, kita
tak pernah beranjak dari keadaan yang dulu. Kita masih saja duduk di bangku
masalah yang sama. Tak ada yang berubah, kecuali angka dari usia kita yang
terus bertambah dan paras yang kian jauh dari rona-rona kesegaran. Padahal
rencana besar yang pernah kita tulis, mungkin lebih besar dari rencana yang
pernah diangankan oleh orang yang saat ini kita kagumi karena keberhasilan dan
kesuksesannya.
Dulu, lima atau sepuluh tahun
yang lalu, barangkali kita telah merencanakan punya rumah dan kendaraan mewah,
atau usaha, atau gelar keilmuan, atau capaian apapun untuk hari ini. Tapi
nyatanya kita masih saja seperti yang dulu. Belum bergeser dari keadaan semula.
Dan karena itu bolehlah sejenak kita tersenyum melihat keadaan ini,
menertawakan diri sendiri.
Bermimpi itu tidak salah.
Berangan-angan pun bukan dosa. Berjanji juga tak keliru. Apalagi berencana
dengan sejumlah strategi yang sudah kita perhitungkan, sudah pasti baik. Dan
kita memang harus memiliki itu, sebab kata orang, kita tak bisa hidup tanpa
mimpi, tanpa angan-angan. Yang salah adalah, ketika mimpi itu tak pernah
membuahkan aksi. Angan-angan tak pernah berhasil menggerakkan kaki. Sebab
ketika kita hanya pandai berpangku tangan, maka sampai kapan pun tak akan
pernah ada sesuatu yang baru dalam hidup kita. Tak akan ada mimpi yang jadi
nyata, dan tak ada janji yang terpenuhi.
Bencana besar bagi sebuah janji
pada diri sendiri adalah ketika kita tak mampu berinteraksi dengan waktu dan
kesempatan. Kita hanya diam menatapnya, membiarkannya berlalu, sebab diam itu
membangun asas-asas kemusnahan dan kebinasaan. Kalau pekerjaan atau bergerak
itu adalah misi orang-orang hidup, maka orang-orang yang punya mimpi tapi hanya
berdiam diri adalah orang-orang mati.
Imam Syafi'i mengatakan, "Jika engkau tidak
menyibukkan diri dengan kebenaran, maka ia akan menyibukkanmu dengan kebatilan."
Jika kita tidak menyesuaikan diri
dengan gerak cepat hari ini, tidak membangun usaha-usaha kebaikan di atas mimpi
dan rencana kita, tidak berjuang dan menghasilkan karya yang teratur, maka
waktu dan kesempatan kita tidak lama lagi akan dirampas oleh pikiran-pikiran
gegabah dan diputar dalam pusaran kebohongan-kebohongan dan senda gurau.
Membuat dan menyusun rencana yang
diikuti dengan gerak dan langkah adalah tindakan paling utama untuk memerlihara
kehidupan kita, sebab dengan begitu kita telah menutup kesempatan bagi syetan
untuk dapat menembusnya dengan bisikan-bisikan yang menyesatkan.
Momentum yang Ditunggu,
Ternyata Juga tak Memberi Apa-apa
Sebuah momen kadang diyakini bisa
jadi pemantik semangat, pembangkit energi untuk sebuah perubahan yang
diinginkan. Karena itu seringkali kita tergerak membangun sebuah komitmen untuk
melakukan rencana-rencana dan janji-janji besar pada diri sendiri, yang dimulai
dari sebuah momen, peristiwa, atau waktu tertentu. Seperti kata seseorang, yang
bertekad akan memulai sebuah usaha di awal tahun baru.
Jujur harus kita akui, terkadang
cara ini terasa menggelikan. Dan tentu saja keliru. Sebab, tidak jarang ketika
momen itu datang ternyata tak membawa efek apa-apa pada diri kita. Semangat
tetap lemah, dan etos kerja juga tak bertambah. Tekad hanya sekadar tekad. Tak
ada aksi dan tindakan.
Momen dan peristiwa sebenarnya
tak ada bedanya dengan kesempatan-kesempatan kita yang lain. Ia adalah bagian dari
waktu-waktu yang ada, tak ada dan tak punya perbedaan dengan yang lain. Hari
Jum'at yang menjadi awal pergantian tahun baru; hijriyah atau masehi, tak ada
bedanya dengan hari-hari Jum'at yang lain. Hari-hari yang lain pun begitu.
Bulan dan tahun yang telah berlalu, juga tak ada bedanya dengan bulan dan tahun
sekarang atau yang akan datang. Islam tidak mengajarkan kita bahwa ada hari
yang memberi semangat dan energi lebih pada diri kita, seperti juga Islam tidak
mengajarkan bahwa ada hari naas atau sial. Semua sarna. Islam hanya mengajarkan
kita bahwa ada waktu-waktu yang istimewa untuk beribadah dan mengejar pahala,
seperti di bulan Ramadhan, di hari Jum'at, atau di sepertiga malam. Akan tetapi
untuk menjalankan sebuah komitmen; bekerja keras untuk mencapai sukses seperti
yang rencanakan untuk diri kita, bisa dilakukan kapan saja, tanpa memilah dan
memilih, ada momen atau tidak ada momen.
Jika kita beranggapan ada hari
baik, maka hari baik itu adalah hari ini. Karena inilah kesempatan yang kita
punyai. Di sinilah kita hidup, dan di sinilah kita punya kekuatan melakukan
sesuatu untuk diri kita. Kemarin adalah cerita masa lalu, sedang besok adalah
kehidupan yang tak pasti. Kebaikan yang kita tanam hari ini adalah ganjaran
yang akan kita terima esok. Kesungguhan yang kita optimalkan hari ini adalah
kesuksesan yang akan kita tuai di masa datang, seperti juga kebahagiaan yang
kita terima hari ini, adalah karena kita telah menanam benihnya di masa lalu.
Thomas Carlyle mengatakan, "Kepentingan utama kita bukanlah untuk apa yang
terletak samar-samar dikejauhan, tetapi untuk mengerjakan apa yang jelas di
tangan."
Maka hidup pada hari ini adalah
prinsip yang telah diajarkan Rasulullah saw pada kita, "Barangsiapa yang memasuki
waktu pagi dengan perasaan aman dalam hatinya, sehat badannya, mempunyai
makanan untuk hari ini, maka seakan-akan dunia dan segala isinya digiring ke
arahnya." (HR. Tirmidzi)
Orang yang menghadapi kehidupan
dunia ini dengan tekad kuat penuh optimisme, dan tidak tunduk terhadap keadaan
yang berada di sekelilingnya, betapapun buruknya, serta tidak dapat
dikendalikan olehnya. Manusia seperti inilah yang akan mampu mengambil manfaat
dari keadaan sekitarnya, dari momen-momen yang dijumpainya, sambil menjaga
ciri-ciri khas dirinya.
Tidak ada tempat untuk bergerak
lamban. Apalagi hanya menunggu. Memang, ada kalanya waktu membawa bantuan yang
menguatkan urat-urat syaraf para pejalan kaki di jalan kebenaran, tapi mustahil
ia memberi daya dan energi kepada orang yang lumpuh, agar bisa melangkah dan berlari.
Sibuk Berdebat, Apakah
Komitmen itu Mengalir atau Harus Terencana
Upaya kita menjalani komitmen
untuk menemukan perubahan dan keadaan yang lebih baik dalam hidup ini,
seringkali terjebak pada perdebatan; apakah hidup ini harus dijalani secara terencana
dan terprogram ataukah cukup dibiarkan mengalir, seperti air mengalir. Dua hal
ini adalah sesuatu yang kerap muncul di tengah-tengah kita, di antara kita.
Keduanya punya pengikutnya masing-masing, dan keduanya seolah telah menjadi
madzhab dalam kehidupan kita yang terus melahirkan perdebatan.
Penganut madzhab pertama mungkin
akan mengatakan, janganlah menerapkan cara hidup yang mengalir seperti air,
karena air memiliki kecenderungan untuk mengalir ke bawah. Tidak pernah air itu
mengalir ke tempat yang lebih tinggi. Bila ketinggian itu tidak penting, maka
tentu tidak akan pernah ada janji-janji mengenai keindahan pada posisi-posisi
yang tinggi.
Tapi penganut madzhab kedua,
mungkin akan menjawab, "Cukup satu langkah awal. Ada kerikil saya
singkirkan. Melangkah lagi. Bertemu duri saya sibakkan. Melangkah lagi.
Terhadang lubang, saya lompati. Melangkah lagi. Bertemu api, saya mundur.
Melangkah lagi. Berjalan terus dan mengatasi masalah." Seperti aliran air,
yang selalu menghindari gundukan tanah atau bongkahan batu di depannya. Dan
ucapan di atas bukan tanpa bukti, sebab dia keluar dari mulut seorang pengusaha
besar dan terkenal di negeri ini, Bob Sadino, dalam sebuah majalah manajemen.
Perbedaan pandang tentang hal ini
tentu selalu akan nada. Dan sebenarnya boleh jadi dua-duanya memang benar.
Namun yang menggelikan dan harus membuat kita sesekali menertawakan diri,
adalah kenyataan bahwa kita terkadang hanya menjadikannya sebatas perdebatan
tanpa komitmen. Kita membuat perencanaan yang matang dan sempurna karena kita
yakin inilah cara yang paling tepat untuk meraih mimpi, tetapi perencanaan itu
ternyata hanya sebatas perencanaan, sebab kita tidak pernah ada komitmen untuk
menjalankannya. Atau memilih jalan hidup seperti air, tapi tak pandai mengantisipasi
dan menghindari bongkahan-bongkahan batu yang tiba-tiba saja datang menghadang,
sehingga aliran air itu pecah berantakan dan tak punya lagi kekuatan, lalu
habis meresap ke dalam tanah.
Perjalanan hidup seseorang di
suatu waktu, tidaklah menjadi ukuran apapun bahwa ia akan menjadi seperti apa
di masa yang lain. Sepotong episode hidup kita di satu waktu, tak pernah pula
menjadi ukuran bahwa kita juga akan menjadi sosok dengan keadaan yang sama di
episode hidup kita di masa tertentu. Langkah perubahanlah yang akan menentukan
episode yang akan terjadi nanti. Kita harus mempunyai waktu untuk segera
merespon perubahan-perubahan dalam hidup ini. Merevisi hidup, merupakan perkara
besar. Maka kita harus memiliki target dan ukuran revisi yang jelas kebenaraannya.
Atau mengumpulkan perbekalan-perbekalan yang kita butuhkan untuk mengikuti arus
air yang terus mengalir.
Revisi selalu memerlukan
pengorbanan besar, mungkin juga rasa sakit. Ini jika kita harus merevisi dan
mengubah sesuatu yang buruk menjadi baik. Termasuk meninggalkan suatu keburukan
pada kebaikan, melepas atau membuang suatu kebiasaan buruk. Betapa banyak orang
yang cenderung tidak mau memeriksa perjalanannya lalu merevisi hidupnya. Sampai
hidupnya perlahan terus digerogoti usia, Betapa banyak diantara kita yang tidak
peduli dengan perguliran waktu, dan membiarkan hidupnya berjalan seperti air,
tanpa target, tanpa rencana, tanpa tujuan yang jelas. Hingga hidupnya terjebak
pada situasi yang tidak memungkinnya lagi untuk merubah arah.
Hidup memang mengalir, tapi
terlalu mahal untuk dibiarkan mengalir tanpa kekuatan dan daya tahan. Hidup
harus memang harus terencana, tapi apa gunanya tumpukan rencana dan susunan
program jika tak pernah di jalankan. Yang kita butuhkan dalam hidup adalah komitmen dan kerja
yang selalu diikuti semangat untuk meraih hasil. Karena dengan itulah
maka kita akan menemukan perubahan dalam diri dan hidup kita. Dan karena dengan
itulah kita akan merasakan keserasian dan keselarasan antara bertambahnya
amal-amal shalih dan meningkatnya kedekatan dengan Allah swt. Utsman bin Affan
ra berkata, "Tak ada kecintaan padaku pada perguliran hari dan malam,
kecuali aku menemui Allah dengan membaca Mushaf."
Sedang Muhammad Natsir berkata,
"Sejarah telah menunjukkan, tiap-tiap bangsa yang telah menempuh ujian
hidup yang sakit dan perih, tapi tak putus bergiat menentang marabahaya,
berpuluh, bahkan beratus tahun lamanya, pada suatu masa akan mencapai satu
tingkat kebudayaan yang sanggup memberikan penerangan kepada bangsa yang
lain."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar