Minggu, 02 Februari 2014

MENERTAWAKAN JANJI-JANJI KITA PADA DIRI SENDIRI


Tarbawi edisi 220
Menertawakan Janji-janji Kita pada Diri Sendiri
Oleh: Ustadz Sulthan Hadi
 
Menertawakan diri sendiri mungkin tidak semua kita bisa atau mau melakukannya. Padahal, tertawa adalah salah satu pertanda bahwa seseorang masih bisa membedakan antara kepedihan dengan kesenangan. Tertawa adalah pertanda bahwa seseorang masih mampu membedakan mana dagelan dan   mana keseriusan. Tertawa menjadi bukti bahwa seseorang sedang berduka atau bersuka. Tertawa merupakan isyarat bahwa seseorang masih punya rasa. Tanpa rasa, maka besar kemungkinan orang tersebut sedang mengalami gangguan jiwa. Sebab, hanya orang yang mengalami gangguan jiwa yang selalu tertawa dalam kondisi apa pun. Sebaliknya, orang yang waras hanya akan menertawakan sesuatu yang memang pantas ditertawakan. Meski terkadang, kita bisa pula menertawakan sesuatu yang   sebenarnya tak lucu.  
 
Menertawakan diri sendiri kita lakukan untuk menyadari kesalahan, perilaku konyol, kekeliruan, seperti halnya yang pernah dilakukan Umar bin Khattab kala mengenang masa-masa jahiliyahnya yang sering melakukan perilaku yang tak rasional.
 
Lantas, apakah dengan menertawakan diri mampu membuat kita menjadi baik?! Tentu tidak. Sebab kesalahan tetaplah kesalahan sebelum ia diperbaiki atau dihapus. Kekeliruan tetaplah kekeliruan sebelum ia dikoreksi. Dan dosa tetaplah dosa sebelum ia ditaubati. Tapi menertawakan diri itu tetaplah perlu, agar hidup kita tidak terasa kaku, agar ketegangan yang melanda hidup karena persoalan yang rumit bisa sedikit terobati.
 
Khusus di sini, mari kita sejenak menertawakan diri sendiri, karena janji-janji yang pernah kita ikrarkan kepadanya. Sebab mungkin di sana ada kelucuan, keluguan, kebodohan, atau mungkin inkosistensi yang telah menipu kita, memenjarakan kita pada keadaan yang tak memberi perubahan.
 
Janji pada Diri Sendiri, Janji yang Tanpa Pengawas dan Sanksi Hukum
Janji adalah hutang. ltulah ungkapan yang sering kita ucapkan ketika kita ingin mengingatkan seseorang agar konsekuen dan konsisten dengan janji yang pernah diucapkannya. Dan memang, pada dasarnya janji punya konsekuensi yang mempertaruhkan citra diri kita kepada siapa saja janji itu kita ucapkan.
 
Kepada Allah swt kita pernah mengucap janji untuk mempertuhankan-Nya dalam setiap keadaan kita di kehidupan ini; beribadah kepada-Nya, bersandar hanya kepada-Nya, menuruti perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Saat itu Allah berfirman, "Bukankah aku ini Tuhanmu?" Dan kita pun menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (QS. Al A'raf 172)
 
Memang, tak ada di antara kita yang mengingat kapan dan bagaimana janji itu kita ucapkan, sebab kala itu kita memang baru berusia empat bulan dalam rahim ibu. Akan tetapi, janji itu telah cukup bagi Allah untuk menghukum setiap kesalahan dan dosa yang kita lakukan di dunia, sekecil apapun. Kalaupun akhirnya kita bertaubat dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan itu lagi, hakekatnya itu hanyalah pengulangan dari janji yang dahulu perrnah kita ucapkan. Karena itu, Rasulullah saw mengingatkan kita dengan sabdanya, "Perbaharui imanmu dengan mengucapkan, "Tiada tuhan selain Allah".
 
Jika kita melanggar janji ini, maka konsekuensi paling besar yang akan kita terima adalah jastifikasi kekafiran dari Allah swt. Sebab tak ada gelar lain yang pantas bagi seorang manusia yang tak mengakui Allah sebagai Tuhan kecuali kafir.
 
Kepada manusia, kita seringkali berjanji. Bahkan mungkin setiap hari. Kepada teman, relasi dan mitra kerja kita, selalu ada janji. Kepada orang tua, istri atau suami, anak, dan saudara, kita sering mengucapkan janji. Dan semua janji-janji itu ada konsekuensinya, dan pertaruhannya pun adalah citra diri. Rasulullah saw pernah bersaba, "Empat hal, jika terdapat pada diri seseorang maka ia seorang munafik yang murni. Siapa yang memiliki satu di antara empat hal itu maka ia menyimpan satu tabiat kemunafikan hingga ia melepaskannya: Jika diberi amanah dia berkhianat; jika berbicara dia berbohong; jika berjanji dia ingkar; jika berselisih dia berlaku jahat."  (Muttafaq ‘Alaih)
 
Tetapi yang unik adalah janji kita kepada diri sendiri. Rencana, target, obsesi, dan janji kita kepada diri sendiri nyaris tak ada hukum dan sanksi yang akan kita terima, sebab memang tidak ada yang mengawasi, tak ada yang menghukum. Kita bebas berjanji apa dan kapan saja, dan bebas pula melanggarnya. Kita merdeka untuk menyusun rencana apapun, dan merdeka pula untuk tidak melakukannya. Kita mungkin pernah berjanji pada diri sendiri untuk bekerja keras, misalnya, agar dua atau tiga tahun kedepan kita bisa punya mobil, atau merampungkan kuliah, atau memajukan bisnis dan sebagainya. Tapi janji itu kemudian tak kita penuhi, dan kita tak pernah merasa berdosa karena memang tak ada yang mengawasi dan tak ada yang memarahi.
 
Janji kepada diri sendiri adalah janji yang berbeda. Unik. Tak ada risiko dan konsekuensi. Karena itulah barangkali maka kita terlalu mudah melakukannya dan terlalu mudah pula melupakannya. Selalu, dan terus berulang. Layak rasanya kita menertawakan diri karena kelakuan itu, yang terkesan seperti anak kecil yang tak pernah mengerti dan tak mau tahu akibat dari ucapannya. Kita seringkali mengucap janji pada diri sendiri untuk sebuah komitmen, tapi tak ada satu pun dari janji-janji itu yang mampu membawa kita ke mana-mana, karena memang kita juga tak pernah menggerakkannya ke mana-mana. Hanya ada di pikiran, hanya tertulis indah di catatan, karena kita merasa tak ada yang mengawasi, tak ada yang akan menghukum.
 
Kita Ingin Sukses, tapi tak Sejengkal pun Kita Melangkah
Target-target besar yang kita rencanakan kemarin untuk hari ini, atau hari ini untuk esok, itu semua adalah janji-janji kita pada diri sendiri. Dan ia adalah permulaan yang baik untuk tujuan yang baik. Dia adalah kunci awal dari sebuah kesuksesan yang besar. Tapi target, sebaik apapun perencanaannya dan sehebat apapun strategi pencapaiannya, kalau kaki tak penah sekali pun dilangkahkan dan tangan tak pernah diayun, dia hanya akan jadi mimpi yang tak pernah jadi nyata.
 
Cobalah kita sejenak merenung, menggingat setiap pergantian waktu yang pemah kita lewati, dari hari ke hari, atau dari tahun ke tahun hingga di usia kita saat ini, sebenarnya selalu ada rencana besar yang kita sisipkan di sana untuk sebuah masa depan yang lebih baik, karena kita memang pasti ingin hidup lebih baik. Namun kenyataannya, kita tak pernah beranjak dari keadaan yang dulu. Kita masih saja duduk di bangku masalah yang sama. Tak ada yang berubah, kecuali angka dari usia kita yang terus bertambah dan paras yang kian jauh dari rona-rona kesegaran. Padahal rencana besar yang pernah kita tulis, mungkin lebih besar dari rencana yang pernah diangankan oleh orang yang saat ini kita kagumi karena keberhasilan dan kesuksesannya.
 
Dulu, lima atau sepuluh tahun yang lalu, barangkali kita telah merencanakan punya rumah dan kendaraan mewah, atau usaha, atau gelar keilmuan, atau capaian apapun untuk hari ini. Tapi nyatanya kita masih saja seperti yang dulu. Belum bergeser dari keadaan semula. Dan karena itu bolehlah sejenak kita tersenyum melihat keadaan ini, menertawakan diri sendiri.
 
Bermimpi itu tidak salah. Berangan-angan pun bukan dosa. Berjanji juga tak keliru. Apalagi berencana dengan sejumlah strategi yang sudah kita perhitungkan, sudah pasti baik. Dan kita memang harus memiliki itu, sebab kata orang, kita tak bisa hidup tanpa mimpi, tanpa angan-angan. Yang salah adalah, ketika mimpi itu tak pernah membuahkan aksi. Angan-angan tak pernah berhasil menggerakkan kaki. Sebab ketika kita hanya pandai berpangku tangan, maka sampai kapan pun tak akan pernah ada sesuatu yang baru dalam hidup kita. Tak akan ada mimpi yang jadi nyata, dan tak ada janji yang terpenuhi.
 
Bencana besar bagi sebuah janji pada diri sendiri adalah ketika kita tak mampu berinteraksi dengan waktu dan kesempatan. Kita hanya diam menatapnya, membiarkannya berlalu, sebab diam itu membangun asas-asas kemusnahan dan kebinasaan. Kalau pekerjaan atau bergerak itu adalah misi orang-orang hidup, maka orang-orang yang punya mimpi tapi hanya berdiam diri adalah orang-orang mati.
 
Imam Syafi'i mengatakan, "Jika engkau tidak menyibukkan diri dengan kebenaran, maka ia akan menyibukkanmu dengan kebatilan."
 
Jika kita tidak menyesuaikan diri dengan gerak cepat hari ini, tidak membangun usaha-usaha kebaikan di atas mimpi dan rencana kita, tidak berjuang dan menghasilkan karya yang teratur, maka waktu dan kesempatan kita tidak lama lagi akan dirampas oleh pikiran-pikiran gegabah dan diputar dalam pusaran kebohongan-kebohongan dan senda gurau.
 
Membuat dan menyusun rencana yang diikuti dengan gerak dan langkah adalah tindakan paling utama untuk memerlihara kehidupan kita, sebab dengan begitu kita telah menutup kesempatan bagi syetan untuk dapat menembusnya dengan bisikan-bisikan yang menyesatkan.
 
Momentum yang Ditunggu, Ternyata Juga tak Memberi Apa-apa
 
Sebuah momen kadang diyakini bisa jadi pemantik semangat, pembangkit energi untuk sebuah perubahan yang diinginkan. Karena itu seringkali kita tergerak membangun sebuah komitmen untuk melakukan rencana-rencana dan janji-janji besar pada diri sendiri, yang dimulai dari sebuah momen, peristiwa, atau waktu tertentu. Seperti kata seseorang, yang bertekad akan memulai sebuah usaha di awal tahun baru.
 
Jujur harus kita akui, terkadang cara ini terasa menggelikan. Dan tentu saja keliru. Sebab, tidak jarang ketika momen itu datang ternyata tak membawa efek apa-apa pada diri kita. Semangat tetap lemah, dan etos kerja juga tak bertambah. Tekad hanya sekadar tekad. Tak ada aksi dan tindakan.
 
Momen dan peristiwa sebenarnya tak ada bedanya dengan kesempatan-kesempatan kita yang lain. Ia adalah bagian dari waktu-waktu yang ada, tak ada dan tak punya perbedaan dengan yang lain. Hari Jum'at yang menjadi awal pergantian tahun baru; hijriyah atau masehi, tak ada bedanya dengan hari-hari Jum'at yang lain. Hari-hari yang lain pun begitu. Bulan dan tahun yang telah berlalu, juga tak ada bedanya dengan bulan dan tahun sekarang atau yang akan datang. Islam tidak mengajarkan kita bahwa ada hari yang memberi semangat dan energi lebih pada diri kita, seperti juga Islam tidak mengajarkan bahwa ada hari naas atau sial. Semua sarna. Islam hanya mengajarkan kita bahwa ada waktu-waktu yang istimewa untuk beribadah dan mengejar pahala, seperti di bulan Ramadhan, di hari Jum'at, atau di sepertiga malam. Akan tetapi untuk menjalankan sebuah komitmen; bekerja keras untuk mencapai sukses seperti yang rencanakan untuk diri kita, bisa dilakukan kapan saja, tanpa memilah dan memilih, ada momen atau tidak ada momen.
 
Jika kita beranggapan ada hari baik, maka hari baik itu adalah hari ini. Karena inilah kesempatan yang kita punyai. Di sinilah kita hidup, dan di sinilah kita punya kekuatan melakukan sesuatu untuk diri kita. Kemarin adalah cerita masa lalu, sedang besok adalah kehidupan yang tak pasti. Kebaikan yang kita tanam hari ini adalah ganjaran yang akan kita terima esok. Kesungguhan yang kita optimalkan hari ini adalah kesuksesan yang akan kita tuai di masa datang, seperti juga kebahagiaan yang kita terima hari ini, adalah karena kita telah menanam benihnya di masa lalu. Thomas Carlyle mengatakan, "Kepentingan utama kita bukanlah untuk apa yang terletak samar-samar dikejauhan, tetapi untuk mengerjakan apa yang jelas di tangan."
 
Maka hidup pada hari ini adalah prinsip yang telah diajarkan Rasulullah saw pada kita, "Barangsiapa yang memasuki waktu pagi dengan perasaan aman dalam hatinya, sehat badannya, mempunyai makanan untuk hari ini, maka seakan-akan dunia dan segala isinya digiring ke arahnya." (HR. Tirmidzi)
 
Orang yang menghadapi kehidupan dunia ini dengan tekad kuat penuh optimisme, dan tidak tunduk terhadap keadaan yang berada di sekelilingnya, betapapun buruknya, serta tidak dapat dikendalikan olehnya. Manusia seperti inilah yang akan mampu mengambil manfaat dari keadaan sekitarnya, dari momen-momen yang dijumpainya, sambil menjaga ciri-ciri khas dirinya.
 
Tidak ada tempat untuk bergerak lamban. Apalagi hanya menunggu. Memang, ada kalanya waktu membawa bantuan yang menguatkan urat-urat syaraf para pejalan kaki di jalan kebenaran, tapi mustahil ia memberi daya dan energi kepada orang yang lumpuh, agar bisa melangkah dan berlari.
 
Sibuk Berdebat, Apakah Komitmen itu Mengalir atau Harus Terencana
Upaya kita menjalani komitmen untuk menemukan perubahan dan keadaan yang lebih baik dalam hidup ini, seringkali terjebak pada perdebatan; apakah hidup ini harus dijalani secara terencana dan terprogram ataukah cukup dibiarkan mengalir, seperti air mengalir. Dua hal ini adalah sesuatu yang kerap muncul di tengah-tengah kita, di antara kita. Keduanya punya pengikutnya masing-masing, dan keduanya seolah telah menjadi madzhab dalam kehidupan kita yang terus melahirkan perdebatan.
 
Penganut madzhab pertama mungkin akan mengatakan, janganlah menerapkan cara hidup yang mengalir seperti air, karena air memiliki kecenderungan untuk mengalir ke bawah. Tidak pernah air itu mengalir ke tempat yang lebih tinggi. Bila ketinggian itu tidak penting, maka tentu tidak akan pernah ada janji-janji mengenai keindahan pada posisi-posisi yang tinggi.
 
Tapi penganut madzhab kedua, mungkin akan menjawab, "Cukup satu langkah awal. Ada kerikil saya singkirkan. Melangkah lagi. Bertemu duri saya sibakkan. Melangkah lagi. Terhadang lubang, saya lompati. Melangkah lagi. Bertemu api, saya mundur. Melangkah lagi. Berjalan terus dan mengatasi masalah." Seperti aliran air, yang selalu menghindari gundukan tanah atau bongkahan batu di depannya. Dan ucapan di atas bukan tanpa bukti, sebab dia keluar dari mulut seorang pengusaha besar dan terkenal di negeri ini, Bob Sadino, dalam sebuah majalah manajemen.
 
Perbedaan pandang tentang hal ini tentu selalu akan nada. Dan sebenarnya boleh jadi dua-duanya memang benar. Namun yang menggelikan dan harus membuat kita sesekali menertawakan diri, adalah kenyataan bahwa kita terkadang hanya menjadikannya sebatas perdebatan tanpa komitmen. Kita membuat perencanaan yang matang dan sempurna karena kita yakin inilah cara yang paling tepat untuk meraih mimpi, tetapi perencanaan itu ternyata hanya sebatas perencanaan, sebab kita tidak pernah ada komitmen untuk menjalankannya. Atau memilih jalan hidup seperti air, tapi tak pandai mengantisipasi dan menghindari bongkahan-bongkahan batu yang tiba-tiba saja datang menghadang, sehingga aliran air itu pecah berantakan dan tak punya lagi kekuatan, lalu habis meresap ke dalam tanah.
 
Perjalanan hidup seseorang di suatu waktu, tidaklah menjadi ukuran apapun bahwa ia akan menjadi seperti apa di masa yang lain. Sepotong episode hidup kita di satu waktu, tak pernah pula menjadi ukuran bahwa kita juga akan menjadi sosok dengan keadaan yang sama di episode hidup kita di masa tertentu. Langkah perubahanlah yang akan menentukan episode yang akan terjadi nanti. Kita harus mempunyai waktu untuk segera merespon perubahan-perubahan dalam hidup ini. Merevisi hidup, merupakan perkara besar. Maka kita harus memiliki target dan ukuran revisi yang jelas kebenaraannya. Atau mengumpulkan perbekalan-perbekalan yang kita butuhkan untuk mengikuti arus air yang terus mengalir.
 
Revisi selalu memerlukan pengorbanan besar, mungkin juga rasa sakit. Ini jika kita harus merevisi dan mengubah sesuatu yang buruk menjadi baik. Termasuk meninggalkan suatu keburukan pada kebaikan, melepas atau membuang suatu kebiasaan buruk. Betapa banyak orang yang cenderung tidak mau memeriksa perjalanannya lalu merevisi hidupnya. Sampai hidupnya perlahan terus digerogoti usia, Betapa banyak diantara kita yang tidak peduli dengan perguliran waktu, dan membiarkan hidupnya berjalan seperti air, tanpa target, tanpa rencana, tanpa tujuan yang jelas. Hingga hidupnya terjebak pada situasi yang tidak memungkinnya lagi untuk merubah arah.
 
Hidup memang mengalir, tapi terlalu mahal untuk dibiarkan mengalir tanpa kekuatan dan daya tahan. Hidup harus memang harus terencana, tapi apa gunanya tumpukan rencana dan susunan program jika tak pernah di jalankan. Yang kita butuhkan dalam hidup adalah komitmen dan kerja yang selalu diikuti semangat untuk meraih hasil. Karena dengan itulah maka kita akan menemukan perubahan dalam diri dan hidup kita. Dan karena dengan itulah kita akan merasakan keserasian dan keselarasan antara bertambahnya amal-amal shalih dan meningkatnya kedekatan dengan Allah swt. Utsman bin Affan ra berkata, "Tak ada kecintaan padaku pada perguliran hari dan malam, kecuali aku menemui Allah dengan membaca Mushaf."
 
Sedang Muhammad Natsir berkata, "Sejarah telah menunjukkan, tiap-tiap bangsa yang telah menempuh ujian hidup yang sakit dan perih, tapi tak putus bergiat menentang marabahaya, berpuluh, bahkan beratus tahun lamanya, pada suatu masa akan mencapai satu tingkat kebudayaan yang sanggup memberikan penerangan kepada bangsa yang lain."
 
Mimpi, cita-cita, janji, dan rencana besar kita memberi perubahan pada diri tidak boleh kehilangan komitmen dan stamina berbuat. Sebab komitmen itulah yang akan mengundang datangnya keemudahan, pertolongan, dan menghapus segala rasa lemah dan kemalasan, serta akan membawa kita pada target-target yang kita impikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar