Minggu, 02 Februari 2014

SEDIAKAN SELALU RUANG UNTUK DIBENCI.....

 
Disadur dari Majalah Tarbawi edisi206 Th 10. Jun 09.

 

 

Pasti. Setiap diri kita ingin kesesuaian antara kenyataan dan harapan.
Kita mendambakan hidup bisa berjalan sesuai dengan apa yang ada di
pikiran kita; bahagia, aman, dan disenangi semua orang. Tidak ada
permusuhan dengan siapapun. Tidak ingin dibenci. Tetapi sebaliknya,
ingin dicintai dan disukai oleh semua orang

 

Tetapi kedua sisi yang berlawanan ini; cinta dan benci, ternyata tidak
akan pernah bisa berpisah. Ada yang mencintai kita tetapi ada juga yang
membenci. Ada yang kita cinta dan ada juga yang kita benci. Benci selalu
lahir, karena ada banyak faktor yang tidak bisa kita hindari.

 

Tidak Ada Manusia yang Sempurna

 

Manusia memang diciptakan dalam bentuk yang paling sempurna dibandingkan
ciptaan Allah swt yang lain. Namun manusia tetap memiliki serangkaian
kekurangan dalam statusnya sebagai makhluk. Tidak ada manusia yang
sempurna, utuh, tanpa cela dan kekurangan.

 

Yang sempurna hanya Allah swt, Sang Pencipta. Dialah Pemilik
kesempurnaan. Dialah Dzat yang tanpa cela. Tanpa kekurangan. Tanpa
kelemahan, dalam sifat, perbuatan, ketentuan, dan hukum-Nya, sehingga
Dia tidak layak dibenci oleh siapapun. Sedang manunia, umumnya adalah
makhluk yang mempunyai banyak kelemahan dan keterbatasan, dan Allah swt
telah menegaskan sifat lemah mereka di dalam Al Qur'an, di mana mereka
sering mendapatkan dispensasi-dispensasi hukum karena sifat lemah itu.
Allah swt berfirman, "Allah hendak memberikan keringan kepadamu dan
manusia dijadikan bersifat lemah." (QS. An Nisa': 28)

 

Sifat lemah manusia begitu jelas terlihat ketika mereka terkena musibah,
atau tertimpa kesulitan, di mana mereka cenderung suka berkeluh kesah.
Karena Allah swt pun memang telah melengkapi kelemahan mereka dengan
sifat itu. Dia menegaskan, "Sesungguhnya, manusia diciptakan bersifat
suka mengeluh." (QS. Al Ma'arij: 19)

 

Manusia juga cenderung melakukan penyimpangan dan berlaku sombong,
seperti disebutkan dalam ayat, "(Orang yang membanggakan diri) yaitu
orang-orang yang kikir dan menyuruh orang lain berbuat kikir dan
menyembunyikan karunia ALlah yang telah diberikan-Nya kepada mereka..."
(QS. An Nisa': 37)

 

Ini hanya sedikit ayat yang menjelaskan dan membuktikan bahwa manusia
memang memiliki banyak cela dan kekurangan. Jika pun kita mendapati
seseorang, yang menurut penilaian dan pandangan kita nyaris tak ada
kekurangan, mungkin karena kita belum banyak berinteraksi dengannya.

 

Jika misalnya, suatu saat kita punya kesempatan untuk hidupbersama
dengan orang itu, di sana kita pasti akan mendapati celah dalam dirinya
kalau ternyata orang tersebut punya kekurangan. Kekurangan yang tidak
tampak jika kita hanya melihatnya sekilas saja.

 

Begitu juga sebaliknya, jika kita memberikan penilaian pada seseorang
dengan predikat penuh kekurangan, banyak kesalahan, barangkali di sisi
lain Allah swt telah membekalinya dengan serangkaian kelebihan, yang
mungkin saja melampaui kelebihan-kelebihan yang ada dalam diri kita.

 

Maka, kalau kita menyadari ini, sangatlah pantas jika kita selalu
menyediakan ruang dalam hati kita untuk dibenci, karena kita pun bukan
manusia sempurna. Banyak kekurangan pada diri kita, yang mungkin saja
akan tidak disukai oleh orang lain.

 

Keberagaman itu Sangat Indah

 

Di sebuah taman yang indah, akan kita temukan bunga-bunga dari jenis
yang beragam, warna-warna yang berbeda, serta bentuk dan aroma yang
berlainan. Bunga-bunga itu, meski tumbuh di atas tanah yang sama,
disirami dari air hujan yang sama, disinari dari cahaya matahari yang
sama, tetapi tak satupun yang sama. Bunga-bunga itu tumbuh beragam, dan
ternyata keragaman itulah yang telah menciptakan keindahan di taman itu.
Keragaman itulah yang telah menghadirkan keharmonisan. Keragaman itu
pula yang selalu memberi daya tarik kepada kita untuk selalu
menikmatinya.

 

Andaikan saja bunga-bunga itu, hanya memancarkan aroma yang sama, buah,
daun, dan dahannya dari jenis dan warna yang serupa, tentu keindahannya
akan berkurang. Membosankan dan menjemukan. Dan mungkin tak akan kita
lihat orang-orang yang selalu menggunjinginya.

 

Bukan hanya bunga-bunga, tapi juga Allah swt menciptakan manusia dengan
keragaman bentuk badan, paras wajah, kepribadian. Semuanya tidak ada
yang sama, sekali pun dua anak kembar yang lahir dari satu sel.
Subhanallah. ada yang berparas ayu, manis, bahkan sangat cantik. Tetapi
ada juga yang berwajah sedang, dan tidak ayu. Ada lelaki yang bertubuh
besar, tinggi, kekar, atau gadis yang anggun dan tinggi semampai. Tetapi
ada juga yang kurus dan kerdil.

 

Di kehidupan nyata, kita juga menemukan banyak keberagaman. Ada
keragaman berpikir, keragaman pandangan, keragaman kesenangan, tabiat
dan prilaku. Semua keragaman itu telah melahirkan keagungan, keindahan,
keserasian dan kesempurnaan yang tiada tara. Kita menjadi saling
membutuhkan karena keberagaman itu. Tapi juga ada yang membenci karena
kita tidak seperti yang dia inginkan.

 

Keragaman itu adalah bagian dari fitrah penciptaan dan fitrah keindahan.
Allah swt berfirman, "Sungguh, usahamu memang beraneka ragam." (QS.
Al-Lail: 4)

 

Keragaman itulah yang melahirkan keindahan. Keserasian. Dan
keharmonisan. Maka menghendaki atau memaksakan satu keinginan saja, sama
artinya kita menolak keharmonisan, dan hanya menebar kebencia. Kebencian
selalu ada, selagi ada yang menghendaki kesamaan. Namun, hanya Allah
yang mampu mempersatukan dan menyeragamkan, sebagaimana firman-Nya, "Dan
yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu
membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak
dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan
hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana." (QS. Al
Anfal: 63)

 

Karena itu, kita harus selalu menyediakan ruang untuk dibenci karena
kita memang beragam.

 

Memahami Latar Belakang Setiap Orang

 

Kesalahan kita memahami orang lain, atau kesalahan orang lain memahami
kita seringkali berawal dari kesalahan memahami latar belakang. Padahal,
latar belakang punya peran membentuk pola piker, cara pandang, karakter,
kepribadian dan pendirian seseorang.

 

Perbedaan latar belakang ini sering membuat orang lain tidak mudah
menerima kita. Perbedaan latar belakang kerap menjadikan sebuah maksud
baik tidak berbalas. Kadang, perbedaan latar belakang menjadi penyebab
lahirnya kebencian.

 

Lihatlah, betapa dakwah Rasulullah saw ketika berhadapan dengan
orang-orang kafir Quraisy seakan menghadapi tembok yang kokoh.
Perlawanan, hinaan dan dan penyiksaan setiap saat beliau terima. Bukan
karena mereka tidak percaya dengan kebenaran yang dibawa oleh beliau,
melainkan karena meraka adalah golongan bangsawan dan pewaris keyakinan
nenek moyang yang penyembah berhala. Mereka merasa dikecilkan jika harus
mengikuti agama baru yang bernama Islam, yang ajarannya sangat
bertentangan dengan kebiasaan mereka di masa lalu.

 

Di mana-mana Rasulullah saw selalu mendapatkan perlakukan kasar. Di
Thaif, misalnya, beliau bahkan dilempari dengan batu hingga tubuhnya
penuh luka dan bercucuran darah. Melihat penyiksaan itu, malaikat pun
menawarkan diri untuk menimpakan gunung kepada orang-orang kafir. Namun
beliau saw menolaknya dengan mengatakan, "Jangan, karena mereka tidak
tahu."

 

Beliau juga pernah diboikot oleh orang-orang Quraisy selama tiga tahun,
sehingga beliau dan sahabatnya hanya bisa memakan daun-daunan untuk
mempertahankan diri dari kelaparan dan kematian. Tetapi beliau tidak
pernah dendam.

 

Latar belakang mereka ini sangat dimengerti oleh Rasulullah saw,
sehingga walaupun dakwah beliau selalu dibalas dengan kebencian beliau
tidak pernah balik membenci. Beliau bersabar, meskipun cercaan dan
intimidasi tidak pernah berkurang. Bahkan dalam kesabaran itu beliau
mendoakan, "Wahai Rabbku, ampunilah kaumku. Sesungguhnya mereka hanyalah
kaum yang belum mengetahui...". Beliau saw telah memberikan contoh cara
membalas kebencian yang sangat indah; memaafkan dan mendoakan.

 

Salah memahami latar belakang seringkali menjadi kendala ketika kita
mengemban misi, menyampaikan sebuah kebenaran, ide ataupun gagasan.
Selalu ada prasangka yang tidak baik dari banyak orang. Dan ini dipahami
Imam Malik ketika ia telah selesai menuliskan kitabnya Al Muwaththa',
dan banyak orang yang kagum dengan isinya yang sangat baik. Termasuk
khalifah yang berkuasa saat itu. Sang khalifah bahkan mengusulkan kepada
Imam Malik agar kitab tersebut dijadikan pegangan seluruh umat Islam.
Namun Imam Malik menolak dan berkata, "Jangan, sebab banyak orang yang
berbeda latar belakang pemahaman agamanya. Mengharuskan mereka mengambil
kitab ini sama saja dengan pemaksaan dan menebar fitnah."

 

Kesalahpahaman di antara kita, yang kemudian melahirkan kecurigaan dan
kebencian akan selalu ada karena kita memang saling berbeda latar
belakang.

 

Kepuasan Manusia adalah Pemenuhan yang tak Berujung

 

Disukai banyak orang tentu sebuah kenikmatan. Karena kita akan merasa
nyaman, tenang dan aman bersama mereka. Bebas dari makarnya, jauh dari
kebenciannya, dan dekat dari persahabatannya. Sebab itulah kita selalu
berusaha menyenangkan hati setiap orang yang kita kenal atau yang tidak
kita kenal; menjaga perilaku, ucapan, perasaan, sikap dan sifat yang
tidak disukai.

 

Tetapi, apakah itu bisa? Menyenangkan hati semua orang barangkali
merupakan hal yang nyaris mustahil dicapai. Sekuat apapun usaha yang
kita lakukan. Senyata apapun kebenaran yang kita sampaikan. Dan sejelas
apapun persoalan yang kita utarakan. Sebab setiap manusia memiliki
selera yang berbeda, emosi yang tidak sama, dan tingkat pengetahuan yang
beragam, serta dua madzhab yang selalu berlawanan; hak dan batil. Jika
kita bermadzhab pada yang hak, maka orang yang tidak baik pasti benci
kita. Dan jika kita bermadzhab pada yang batil, tentu orang yang baik
pasti akan menjauhi kita. Sebab keburukan dan kebaikan, selamanya pasti
tidak akan berdamai.

 

Sepanjang sejarah manusia, para penyeru kebenaran selalu mendapatkan
musuh-musuh besar yang membencinya. Pun para dajjal, mereka mendapat
perlawanan dari para pahlawan pembela kebenaran. Jadi, di belahan sisi
manapun kita berdiri pasti akan menjumpai orang yang tidak suka dengan
kita. Karena itu, menyenangkan semua orang tentulah sangat sulit
dilakukan. Tetapi kita tentu juga tidak boleh berdiri di atas dua sisi
itu hanya karena ingin menghilangkan kebencian. Karena sikap seperti ini
hanya akan mengaburkan jati diri, merusak kehormatan, dan merendahkan
martabat kita sebagai manusia. Kehormatan itu akan kokoh jika kita tetap
berdiri di sisi kebenaran.

 

Luqman Al Hakim, suatu hari menasehati anaknya untuk tidak
menggantungkan hatinya pada kepuasan dan ridha manusia. Sebab, katanya,
kepuasan dan keridhaan manusia pasti sulit dicapai. Dan untuk
membuktikan hal ini kepada anaknya, Luqman pun mengajaknya ke luar
rumah, berjalan-jalan di keramaian manusia, sembari membawa keledai
tunggangannya.

 

Saat keluar di jalan raya, Luqman menunggangin keledai tersebut dan
membiarkan anaknya berjalan kaki di belakangnya. Ketika melintasi
sekelompok orang, Luqman dan anaknya mendengar mereka berkata, "Lihatlah
lelaki tua itu. Betapa keras hatinya dan betapa tidak punya belas kasih
kepada anaknya. Bagaimana dia tega menunggangi keledai sementara
membiarkan anaknya berjalan kaki di belakang."

 

Luqman pun turun dan menyuruh anaknya menaiki pelana keledai. Ketika
melewati sekelompok orang yang lain, keduanya lagi-lagi mendengar
obrolan orang-orang itu tentang diri mereka, "Perhatikan anak dan bapak
itu. Si bapak tetnu tidak pernah mendidik anaknya dengan baik sehingga
anaknya tidak bisa menghormati dan mengasihi bapaknya."

 

Anaknya pun turu dari punggung keledai, lalu berjalan bersama bapaknya
di belakang keledai, tetapi orang-orang yang mereka lewati masih terus
berkomentar, "Aneh sekali dua lelaki ini. Mereka biarkan keledainya
berjalan sementara mereka mengikuti dari belakang."

 

Akhirnya, mereka berdua menaiki keledai tersebut. Namun begitu melewati
kerumanan yang lain, komentar miring pun terdengar, "Lihatlah kedua
orang itu. Mereka benar-benar tidak punya belas kasihan pada binatang.
Mereka menyiksannya dengan menaikinya bersama-sama, padahal badan mereka
begitu besar."

 

Pada riwayat lain tentang kisah ini menyebutkan, Luqman dan anaknya
kemudian turun dari keledainya, lalu mengikat dan memikulnya secara
bersama-sama, sehingga semua orang yang melihatnya tertawa dan
menganggap mereka sudah gila.

 

Realita kehidupan kita memang tidak pernah menyediakan ruang bebas cela.
Karenanya, sebelum kita mendapati cela itu sediakan selalu ruang di hati
kita untuk dicela.

 

Sara Mengurangi Kesalahan dan Dosa

 

Ajaran Islam itu ada yang bersifat anjurang dan larangan, ada pula yang
bersifat penerimaan. Kita dianjurkan untuk memperbanyak amal dengan
melakukan hal-hal yang baik, seperti memberi, tersenyum, menolong dan
menyenangkan orang lain. Di sisi yang berbeda, ada larangan-larangan
yang harus kita tinggalkan seperti, hasad, iri, menyakiti dan semua
perbuatan yang bisa merugikan dan berdampak negative.

 

Namun di luar itu, Islam mengajarkan kita untuk juga bisa menerima,
seperti ketika kita tertimpa musibah, dicaci, dikucilkan, dan dibenci.
Penerimaan ini punya tujuan yang sama dengan ajaran yang bersifat
anjuran maupun larangan; mendapatkan pahala, ampunan, dan kasih sayang
dari Allah swt, serta pengurangan dosa dan kesalahan.

 

Penerimaan itu maksudnya adalah menjalani sesuatu itu dengan ikhlas,
sabar, dan tabah, dengan keyakinan bahwa Allah Maha Tahu tentang diri
kita dan kualitas kita, tentang sesuatu yang disangkakan buruk oleh
orang lian dari diri kita. Penerimaan itu adalah merelakan orang lain
melakukan kebenciannya dengan tidak melakukan hal yang serupa kepada
orang tersebut, dengan harapan mudah-mudahan kebencian itu dapat
mengurangi kesalahan kita, menghapus sebagaian dosa-dosa kita, dan lebih
dekat dengan Allah swt. Sebab, seperti dijelaskan Rasulullah saw bahwa
seorang hamba yang terzhalimi tidak ada penghalang antara dirinya dengan
Allah swt.

 

Menerima tidaklah semudah melakukan anjuran atau meniggalkan larangan.
Orang yang dibenci tentu selalu punya emosi untuk balik membalas. Orang
yang dicaci punya hasrat untuk kembali menyerang. Karena itu, penerimaan
lebih kuat pada aspek pengendalian diri, dan karenanya pula Allah murka
kepada orang-orang yang tidak sanggup menerima ketika Dia mengharuskan
mereka menerima. Dalam sebuah hadis\ts Qudsi, Allah berfirman, "Dan
siapa yang tidak sanggup bersabar menerima ujian-Ku, maka hendaklah dia
keluar dari kolong langit-Ku, dan hendaklah dia encari tuhan selain
diri-Ku."

 

Kebencian orang lain pada kita membutuhkan penerimaan yang tulus ,
ikhlas dan sabar. Bukan penerimaan yang direkayasa. Bukan penerimaan
yang sengaja diciptakan, dengan membuat kita agar kita mendapatkan
kebaikan dari perlakukan buruk mereka. Bukan itu.

 

Memadamkan apa benci tidaklah mudah. Karena itu, di hati kita harus
selalu ada ruang yang tersedia untuk menerimanya. Tetapi yang lebih
penting setelah itu, kebencian itu kita hapuskan dengan maaf, karena
sikap itulah yang akan mengantarkan kita kepada surga-Nya Allah swt,
seperti lelaki yang disebut Rasulullah saw sebagai ahli surga, yang
ternyata terbiasa menghapus kebencian dari hatinya kepada siapa saja,
sebelum ia tidur malam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar