Kamis, 26 Juni 2014

ISTRI QONA'AH


Bismillaah …

Tadi malam saya mendapatkan satu pelajaran lagi tentang sifat qona’ah seorang istri. Setelah banyak kisah tentang wanita-wanita yang qona’ah sampai kepada saya. Baik dari kalangan shahabiyah -radliyallaahu ‘anhunna-, maupun dari teman dan sahabat saya.

Tiap kali mendengar tentang seorang wanita yang berhasil mendidik jiwanya agar mudah untuk merasa cukup, maka tiap kali itu pula hati ini bergetar.. Kadang ada air mata yang tak dapat terbendung. Entahlah! Hanya merasa bahwa mereka begitu luar biasa di mata saya. Dalam zaman yang serba hedonis ini, ada sebentuk kepasrahan dalam hati mereka atas apa yang Allah berikan. Ridha. Tidak mengeluh. Bersabar.

Teman saya itu masih terlalu muda untuk menikah. Usianya masih belasan. Tapi ia berani untuk menyelamatkan agama dan kehormatannya dengan cara yang agung: menikah. Ia tahu sang suami belum punya pekerjaan tetap. Tapi ia yakin bahwa sang suami tidak akan menyia-nyiakan dirinya. Mulai dari berjualan gorengan, sampai jadi kuli bangunan. Apa sajalah asalkan halal. Asalkan dapat menafkahi anak dan istri. Pernah sang suami bekerja di proyek bilangan Salemba. Karena tidak punya kendaraan, mau naik angkot pun biaya pas-pasan. Akhirnya ditempuh juga perjalanan itu, Cibubur-Salemba dengan bersepeda. Setiap hari pulang pergi.

Subhanallaah …

Mengapa dia rela berpayah-payah seperti itu? Karena ia sadar kewajibannya sebagai kepala keluarga. Dan bagaimanakah sikap sang istri? Dia senantiasa tersenyum dalam kesabaran. Walau terpaksa tinggal dengan mertua, walau tempat tinggalnya sangat tidak layak dikatakan sebagai ‘rumah’, tapi lebih pantas disebut ‘bedeng’, walau penghasilan suami pas-pasan.. Tapi ketaqwaan pada Allah menahannya dari berkeluh kesah dan meminta-minta. Ia tampak bahagia dengan suami dan kedua anaknya yang masih kecil-kecil..bahagia dengan kehidupannya. Walau ia pernah bercerita bahwa ia tidak pernah membelikan baju untuk anaknya seharga lebih dari dua puluh ribu…..

Astaghfirullah. Saya merasa amat malu pada diri sendiri. Bukankah yang saya terima ini sudah lebih dari cukup? Patutkah saya mengeluh? Apa lagi yang kurang? Tidakkah semua ini patut disyukuri?

“Fabi’ayyi ‘alaai rabbikuma tukadzdziban? Maka, nikmat Rabb-Mu manakah yang kamu dustakan?” (Surah Ar-Rahmaan)

Ada lagi seorang kawan yang suaminya seorang tukang permak baju keliling. Anaknya sudah dua, yang paling besar sudah masuk SD. Yang kecil baru 13 bulan. Seringkali diuji dengan anaknya yang sakit-sakitan. Tampak kesabaran menghiasi wajah sang istri. Tak ada keluhan. Seolah tanpa beban. Karena ia yakin.. Allah-lah sebaik-baik penjaga dan pemberi rizqi. Qaddarallaahu wa maa sya’a fa’al…

Suami mana yang tidak teduh hatinya memiliki istri-istri yang begitu sabar dan tabah dalam mengayuh biduk bersamanya?

Mereka (para suami) pantaslah bersyukur. Di saat banyak wanita yang menuntut tambahan harta dunia, bahkan mendorong suaminya untuk menghalalkan segala cara. Hanya untuk memuaskan rasa dahaga yang tidak akan pernah tuntas. Tapi istri shalihah selalu menyejukkan mata suaminya dengan kesyukuran dan kesabarannya.

Jadi teringat ucapan suami sehari setelah pernikahan kami, dengan menatap mata dan menggenggam tangan saya, “Istriku, apakah engkau akan selalu setia menemaniku, dalam suka maupun duka?”.

Dengan mantap saya menjawab, “Insya Allah wahai suamiku..”

“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah.” (Riwayat Muslim)

“Jika seorang wanita mengerjakan shalat lima waktu, berpuasa satu bulan (Ramadhan) penuh dan mentaati suaminya, maka hendaklah ia memasuki dari pintu Surga manapun yang ia kehendaki.” (Riwayat Ahmad dan ath-Thabrani).


https://www.facebook.com/renunganuntukkudanuntukmu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar