Hukum Amalan Shalawat Nariyah
Pertanyaan:
Apa benar
shalawat nariyah itu diharamkan dan tidak boleh dibaca? Terima kasih
Dari: Dina
Jawaban:
Segala puji bagi Allah yang telah mengumpulkan kita dalam barisan
orang-orang yang beriman. Kita memohon kepada Allah agar kita semua
diberi kekuatan untuk bisa istiqomah di atas tauhid sampai mati.
Semua umat Islam sepakat bahwa syirik adalah dosa yang sangat besar,
yang tidak akan Allah ampuni jika dibawa sampai mati, dan pelakunya
belum bertaubat.
Namun sayangnya banyak orang yang tidak memahami pengertian yang
tepat tentang syirik. Akibatnya banyak orang yang melakukan perbuatan
syirik namun dia tidak merasa kalau dirinya telah melakukan kesyirikan.
Bahkan yang lebih menyedihkan, ada orang yang melakukan kesyirikan
namun dia merasa sedang melakukan ibadah. Sehingga sangat sulit bagi
orang yang terjerumus ke dalam perbuatan ini untuk diingatkan. Karena
bagaimana mungkin perbuatannya bisa disalahkan sementara dia meyakini
bahwa dirinya sedang mendapatkan pahala dengan perbuatannya.
Kita ucapkan
innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun, ada
musibah besar yang menimpa kaum muslimin, melakukan perbuatan yang
mendatangkan murka Allah namun dia merasa sedang mendapatkan pahala dari
Allah.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا ( )
الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ
أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“
Katakanlah (wahai Muhammad): Apakah telah kami sampaikan kepada
kalian tentang orang yang paling rugi perbuatannya? Mereka itulah
orang-orang yang sesat amal perbuatan mereka di dunia sementara mereka
bahwa diri mereka sedang berbuat kebaikan.” (QS. Al Kahfi: 103-104)
Sungguh benar apa yang disebutkan dalam sebuah hadis:
الشرك في هذه الأمة أخفى من دبيب النمل
“
Sesungguhnya syirik pada umat ini (umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) lebih samar dari pada jejak semut.” (disebutkan oleh Syaikhul Islam dalam kitab Al-Iman dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
Betapa tersembunyi dan samarnya gambaran syirik yang disampaikan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika hanya dilihat secara selintas tanpa diamati dengan seksama maka
tidak mungkin orang akan bisa melihatnya. Karena itulah banyak di antara
kaum muslimin yang terjerumus ke dalamnya. Namun, sayangnya banyak
orang yang dirinya merasa aman dari kesyirikan. Hanya kepada Allah kita
berlindung…
Pengertian Syirik
Untuk menilai dan memahami apakah terdapat kesyirikan pada shalawat
nariyah, terlebih dahulu kami sampaikan pengertian syirik. Secara bahasa
syirik artinya menduakan atau menggolongkan sesuatu dengan sesuatu yang
lain.
Sedangkan secara istilah, ada beberapa pengertian yang disampaikan
oleh para ulama. Definisi yang paling bagus adalah definisi yang
dibawakan oleh syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qosim dalam catatan
beliau untuk kitab tauhid, beliau memberi keterangan bahwa
تسوية غير الله بالله في شيء من خصائص الله
“Syirik adalah menyamakan selain Allah dengan Allah dalam hal-hal yang menjadi sifat khusus bagi Allah.”
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman menceritakan teriakan orang musyrik ketika di akhirat:
تَاللَّهِ إِنْ كُنَّا لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ ( ) إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِينَ
“
Demi Allah, sesungguhnya kami dulu (di dunia) berada dalam
kesesatan yang nyata. Karena kami mempersekutukan kalian (para
sesembahan selain Allah) dengan Rab semesta alam.” (QS. As-Syu’ara: 97 – 98)
Ketika ada makhluk yang derajatnya diangkat tinggi-tinggi, sehingga berada pada derajat yang setara dengan Allah, itulah syirik.
Ketika ada makhluk yang dianggap mampu mengabulkan doa atau mampu
menghilangkan bencana, atau mampu mewujudkan keinginan, atau memiliki
kemampuan lainnya yang hanya dimiliki oleh Allah maka itulah syirik.
Karena yang memiliki kemampuan semua ini hanya Allah. Artinya sifat
ini adalah sifat khusus bagi Allah yang tidak dimiliki oleh makhluk.
Barangsiapa yang memberikan sifat-sifat ini kepada selain Allah,
siapa pun orangnya, maka dia berarti telah merampas hak khusus Allah.
Itu sebabnya, syirik merupakan tindakan kezhaliman yang paling besar,
karena syirik telah merampas hak Dzat Yang Maha Besar, yaitu Allah
Ta’ala. Allah berfirman, menceritakan nasihat Luqman:
يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“
Wahai anakku, jangan menyekutukan Allah. Karena menyekutukan Allah (syirik) adalah kezaliman yang besar.” (QS. Al-Isra: 13)
Syirik dalam Salawat Nariyah
Mari kita beralih pada pembahasan shalawat nariyah. Ada beberapa hal yang patut dikoreksi dari shalawat ini:
Pertama, pada shalawat ini terdapat beberapa lafadz yang maknanya telah melanggar pengertian syirik di atas. Lafadz tersebut adalah:
تـُــنْحَلُ بِهِ العُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الحَوَائِجُ وَ تُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ
Rincian:
(تنحل به العقد)
: Segala ikatan dan kesulitan bisa lepas karena Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam
(وتنفرج به الكرب)
: Segala bencana bisa tersingkap dengan adanya Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam
(وتقضى به الحوائج)
: Segala kebutuhan bisa terkabulkan karena Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam
(و تنال به الرغائب)
: Segala keinginan bisa didapatkan dengan adanya Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam
Empat kalimat di atas merupakan pujian yang ditujukan kepada Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika kita perhatikan, empat kemampuan di atas merupakan kemampuan yang
hanya dimiliki oleh Allah dan tidak dimiliki oleh makhluk-Nya siapa pun
orangnya. Karena yang bisa menghilangkan kesulitan, menghilangkan
bencana, memenuhi kebutuhan, dan mengabulkan keinginan serta doa
hanyalah Allah.
Seorang Nabi atau bahkan para malaikat tidak memiliki kemampuan dalam
hal ini. Oleh karena itu, ketika pujian-pujian ini ditujukan kepada
selain Allah (termasuk kepada Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam)
maka berarti telah menyamakan makhluk tersebut dengan Allah dalam
perkara yang menjadi hak khusus bagi Allah. Cukuplah kita ingat firman
Allah yang memerintahkan Nabi-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatakan:
قُلْ إِنِّي لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلَا رَشَدًا
“
Katakanlah (wahai Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam): Aku
tidak memiliki kemampuan untuk menghindarkan kalian dari bahaya dan
tidak pula mampu memberi kebaikan pada kalian.” (QS. Al-Jin: 21)
Dalam ayat yang lain, Allah juga menegaskan:
قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا
مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ
الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ
لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“
Katakanlah (wahai Muhammad), aku tidak mampu memberikan manfaat
maupun menimpakan bahaya untuk diriku, selain apa yang dikehendaki
Allah. Andaikan aku tahu hal yang gaib, tentu aku akan memperbanyak
untuk mendapatkan kebaikan dan tidak mungkin ada bencana yang menimpaku.
Aku hanyalah pemberi peringatan dan pemberi kabar gembira bagi kaum
yang beriman.” (QS. Al-A’raf: 188)
Itulah pengakuan beliau yang sesuai dengan perintah Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Artinya, beliau sama sekali tidak memiliki sifat-sifat ketuhanan.
Beliau sama sekali tidak memiliki kemampuan sebagaimana yang dimiliki
Allah, seperti mengabulkan doa atau menghilangkan bencana.
Bukankah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri juga pernah mengatakan kepada Fatimah, “
Wahai Fatimah, lakukanlah apa yang kamu inginkan, (namun ingat) saya tidak mampu melindungimu dari (adzab) Allah sedikit pun.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Bahkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak bisa
menghalangi keburukan dan kondisi kekurangan yang menimpa beliau dan
para sahabat. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah perjalanan beliau,
bahwasanya beliau pernah terluka ketika Perang Uhud, kaki beliau
berdarah-darah karena dilempari orang-orang kafir, beliau merasakan
lapar hingga perut beliau diganjal dengan dua batu, beliau pernah jatuh
dari kendaraan, beliau pernah tersihir dan masih banyak bencana dan
kesulitan yang beliau alami ketika berdakwah.
Jika beliau sendiri tidak mampu menyelamatkan diri beliau sendiri
dari segala bentuk kesulitan, bagaimana mungkin diri beliau bisa
menyelamatkan orang lain dari kesulitan. Semua ini terjadi karena beliau
adalah seorang hamba dan manusia biasa. Hanya saja perintah dan
larangan beliau ditaati karena kedudukan beliau sebagai seorang utusan
Allah
Ta’ala.
Kedua, dalam shalawat ini terdapat pujian yang berlebihan kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Sementara pujian berlebihan kepada beliau merupakan salah satu sikap yang dilarang keras oleh beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Suatu ketika ada seorang sahabat memuji Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan mengatakan: “Engkau adalah manusia terbaik di antara kami, putra
dari manusia terbaik kami,…” kemudian beliau bersabda, “Janganlah
kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani
berlebih-lebihan dalam memuji Nabi Isa
‘alaihi wa sallam. Aku
hanyalah seorang hamba, maka sebutlah Aku: Hamba Allah dan Rasul-Nya.”
(HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth).
Jika pujian semacam ini dilarang oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
padahal di sana tidak mengandung ungkapan kesyirikan, maka bagaimana
lagi dengan pujian yang mengandung kalimat-kalimat kesyirikan.
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “
Wahai
manusia, hati-hatilah kalian (jangan sampai) melakukan ghuluw (bersikap
berlebihan) dalam beragama. Karena sesungguhnya sikap ini telah
menghancurkan umat-umat sebelum kalian.” (HR. Ibn Majah dan dishahihkan Syaikh Al Albani).
Ketiga, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengajarkan bentuk shalawat semacam ini.
Shalawat yang beliau ajarkan adalah shalawat yang sering dibaca ketika shalat pada saat duduk tasyahud.
Dalam sebuah hadis riwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim, Dari sahabat Ka’ab bin ‘Ujrah
radhiallahu ‘anhu,
beliau mengatakan, “Wahai Rasulullah, Allah telah mengajari kami
bagaimana cara memberi salam kepadamu, tapi bagaimanakah cara memberikan
shalawat kepadamu?” Kemudian Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bacalah:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ،
اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
Dari hadis di atas dapat disimpulkan bahwa shalawat ini adalah shalawat terbaik, dengan ditinjau dari beberapa sisi:
- Shalawat ini diajarkan langsung oleh Nabi kepada sahabat yang bertanya tentang shalawat. Padahal setiap Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang masalah agama, maka beliau akan memberikan jawaban terbaik sesuai dengan apa yang Allah ajarkan.
- Dzahir hadis menunjukkan bahwa sebelumnya sahabat tidak tahu cara bershalawat, kemudian baru diajari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ini menunjukkan bahwa shalawat tersebut adalah cara bershalawat kepada
beliau yang ditetapkan oleh syariat Islam. Oleh karena itu, orang yang
membaca shalawat yang tidak diajarkan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dikhawatirkan sudah dianggap telah mengganti ajaran beliau dengan ajaran yang lain.
- Shalawat ini dibaca pada saat shalat. ini menunjukkan keistimewaan pada shalawat ini.
Keempat, dari sisi penamaan.
Shalawat ini diberi nama dengan shalawat naariyah (النارية). Patut
diketahui bahwa kata naariyah merupakan pecahan dari kata naar (النار)
yang artinya api. Maka bagaimana mungkin sesuatu yang isinya doa diberi
nama yang mengesankan sesuatu yang buruk. Oleh karena itu, sebagian
ulama mengatakan bahwa ditinjau dari sisi namanya menunjukkan bahwa
orang yang membuat shalawat ini adalah orang yang tidak paham agama dan
kurang memahami kosa kata bahasa Arab. Dan ini sekaligus bukti bahwa
shalawat ini bukanlah bagian dari ajaran syariat.
Allahu waliyyut taufiiq
Mari kita berupaya semaksimal mungkin menghindari kesyirikan, sebagaimana semangat ini diajarkan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat
Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com